5; perjaka 45

1.1K 47 0
                                    

Beginilah, kisah hidup sialku ....

Hari H pernikahan adikku, serta merta pula pernikahanku dan Cakra. Semua berjalan cepat, penuh beban yang tak terungkap, dan kepuasan dari para pemerangkap. Aku dan Cakra tersandung dalam rangkaian pernikahan sesuai adat istiadat karena seakan tak diberikan kesempatan membela kebenaran. Tak ada pertanyaan bagi Cakra, dia hanya bingung katanya tak jadi, tapi jadi, tetapi tak ada protes berarti.

Namanya agak kurang, kan.

Dan saat akad, kalian percaya apa yang Cakra maharkan?

Bukannya alat ibadah, ataupun harta benda, melainkan seperangkat alat mancing yang sering dipakainya. Sebenarnya, masih harta benda sepertinya bagi Cakra, tetapi alhasil aku jadi bahan tertawaan dan olok-olok beberapa warga. Mungkin kalau mereka bisa menyebut, karma sok jual mahal. Dia juga perlu bantuan seseorang menyebut sumpah pernikahan, bruh.

Bla bla bla, bla bla bla, dan bla bla bla.

Beda dengan adikku dan suaminya yang duduk di singgasana panggung depan sana, aku dan Cakra di dalam rumah saja karena aku ini cuman ratu dan raja sampingan yang ikut nyempil karena sebuah perkara, duduk santai, suamiku itu sendiri tengah makan dengan lahap tanpa mempedulikan dia sudah bukan lagi si lajang tua 45. Istrinya di depan dia, aku. Hanya saja, orang sepertinya mana peduli hal itu, sih?

Terlepas itu, saat ini Cakra memakai pakaian jas kolot punya bapak, aku harus akui meski pakaiannya begitu, dia tak terlihat aneh, lumayan keren untuk pria berbadan ala genderuwo meski kakinya tersingkap karena bapakku gendut, tapi pendek, pas tapi kependekan. Sementara aku, pakaian ibuku yang pula gaun lawas, tak terlalu buruk walau bahkan tak berbau, memang apik dia simpan, ini perayaan semua darurat.

Apes sekali.

"Adek enggak makan, kah?" tanya Cakra tiba-tiba.

Aku menggeleng, selera makanku tak hadir sama sekali, badmood.

"Jadi, Adek sama Abang, istri sama suami, ya?" tanya Cakra, ada roman-roman penasaran soal pertanyaannya.

Aku menghela napas, pun mengangguk.

"Jadi, kita ngapain? Mancing bareng ya?" Aku menggeram pelan seraya mengusap kasar wajahku, biarlah make up alakadarnya ini luntur, rasanya frustrasi ditanyai Cakra yang seakan--atau bukan hanya seakan--tak memahami perihal apa yang tengah terjadi padaku dan dia.

Ini semua omong kosong!

Yah, sangat omong kosong ....

"Entahlah, Bang, jalani aja udah, terserah Abang mau ... ngapain." Lalu entah mengapa, aku kepikiran banyak hal soal ini, hingga menegakkan badanku.

Pertama-tama, meski sudah menikah, sepertinya aku bisa tetap terkesan single, karena lihatlah Cakra, yang sama sekali tak merasa dia suamiku. Kenapa aku harus terjebak status istri dengannya kalau dia saja seakan mengabaikan hal tersebut?

Terlepas keberadaan status kami, aku kan masih bisa gitu, ya, ke kota dan seakan tak punya beban mengemban ala istri dan IRT. Maksudku, hei, bukan bermaksud lepas tangan, tetapi bayangkan saja Cakra pun terkesan 'lepas tangan' akan hal itu.

Semua ini bisa dianggap status kopong tanpa kekangan berarti, aku ke kota nanti tak perlu umbar sana sini soal pernikahan kami, dan Cakra ... meninggalkannya di desa juga tak ada masalah apa pun sepertinya.

Aku tak perlu mengalami rasa takut berlebihan harusnya, kalau sadar suamiku orang seperti apa. Iya juga, kan?

Iya banget!

Kenapa aku baru kepikiran aku bisa jadi wanita yang bebas lepas? Konyolnya aku, terlalu overthinking memang bisa mengganggu kinerja otakku. Yah, aku bukan karyawati tercerdas sih di antara Rosa dan Sarah makanya kenaikan pangkatku itu--hasil licinan mereka berdua agaknya.

Cakra tiba-tiba bersendawa, dia menepuk-nepuk perutnya dan bersandar di kursi yang ada. "Adek enggak mau makan, kah? Enak banget lho lontong sayurnya pakai ayam." Ia mengacungkan jempol padaku sembari tersenyum manis. "Mau Abang ambilin kah?"

Aku menghela napas, menatap sisa piringnya tadi, yah kuahnya kelihatan menggoda.

"Ambilin aja, Bang."

Cakra mengacungkan jempol, pun keluar dari rumah ini, aku sendiri mengecek ponsel--sinyal cuma satu batang biji. Tak bisa apa-apa selain bermain game offline.

Tak butuh waktu lama Cakra kembali, dan tak aku sangka dia bawa dua piring. Tak kaget jika dia tambah lagi karena selera makannya kan memang super. Dasar bongsor. Aku pun makan begitupun dia, dan karena tak habis aku menyerahkan sisanya pada Cakra, semua habis tak bersisa termasuk kuahnya.

Mungkin kalau bisa, dia sekalian piringnya.

"Dek, Abang pergi, ya," kata Cakra tiba-tiba, aku mengerutkan kening bingung.

Mau ke mana dia? Lagipula kenapa pakai izin segala?

"Mau ke mana emang, Bang?"

"Tadi ada temen bilang, katanya dia mau ngasih tau gimana jadi suami." Dia nyengir kuda, dan aku agak kaget Cakra menyeriusi walau tak serius-serius banget statusnya saat ini.

Walau aku yakin dia tak akan bisa seserius itu.

"Hm, ya udah, Bang."

Dan setelah kepergiannya, cukup lama Cakra menghilang dari pandangan. Sangat aneh, ke mana pria itu? Bahkan kala acara pernikahan selesai, Arif adikku dan suaminya pergi, orang tuaku kembali, segala beres-beres dan aku mengganti pakaian, sungguh Cakra tak menampakkan batang hidungnya.

Apa dia mancing?

"Lho, Tyo, mana ... Nak Cakra?" Bapak bertanya heran, meski ibu kelihatan tak terlalu mempedulikan keberadaannya, jelas ibu pihak yang masih tak rela aku menikah dengan pria tersebut.

Aku menggedikan bahu. "Mungkin mancing, Pak." Itu kan kebiasaan dia. Entah lesson soal suami yang baik dari teman-temannya masuk kepala, otak Cakra kan hobinya main-main saja meski sudah kepala empat.

"Sebaiknya kamu cari dia, Tyo," kata bapak, dan ibu sedikit menegur. "Kamu ini, dia ini suami Tyona, sudah jadi bagian dari keluarga kita. Hormatlah, ingat apa yang Mbah Agus bantu kita, kita harus balas kebaikannya."

Mbah Agus, ayah Cakra, memang banyak membantu keluarga kecil ini dalam keterpurukan, makanya kami membalas lewat Cakra.

Ibu terdiam karena hal itu, dan aku menghela napas gusar. "Nanti juga balik sendiri, Pak." Dia sudah gede, meski belum dewasa, pasti mengerti saja.

"Cari, Tyo ...." Bapak tampak menekan kata-katanya, mau tak mau aku menuruti. "Sana, cari."

"Iya, Pak, iya." Aku pun menuju ke pemancingan, tempat biasa Cakra berada.

Namun, tumben, dia tak ada di sana, tetapi ada seorang bapak yang mancing, jadi aku bertanya.

"Yah, gak tau, Neng Tyo. Bapak baru aja nyampe. Waduhlah, baru nikah udah ngilang aja."

Aku mendengkus gusar, sepertinya Cakra ada di tempat pemancingan lain? Aku pun mencari spot yang kemungkinan ada Cakra di sana.

Tak ada sama sekali!

Ke mana sih, tu, orang?

Hari makin larut, aku mendengkus sebal, tetapi kemudian aku teringat suatu tempat yang menjadi tempat beristirahat, berlindung, dan menetap.

Benar juga, mungkin saja Cakra ada di rumahnya.

Dugaanku, tepat ....

Namun, aku tak menyangka dengan apa yang aku lihat.

Perjaka 45 [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang