8; perjaka 45

601 25 0
                                    

"Udah, Abang gak usah pikirin, mending bikin sarapan, Abang pasti laper kan?" Aku berusaha mengalihkan perhatiannya, dan sesuai dugaan Cakra tersenyum unjuk gigi.

"Abang udah masak tadi, telor ceplok, dua, sarapan buat Abang sama Adek, tapi nasinya enggak ada, hehe." Dia malah nyengir makin lebar dan aku rasanya mau tepok jidat.

"Ya udah, Abang simpen aja, makan di rumah aku." Dia kelihatan sudah mandi dan berpakaian rapi.

Cakra mengangguk. "Eh itu!" Oh, aku baru sadar, aku memegang sesuatu yang vital bagi Cakra. "Kertas-kertas Abah, Adek nemu di mana ini? Waaah, Abang nyariin ini, gak nemu-nemu." Dia mengambil surat menyurat itu. "Yeay."

Dia bahkan lupa kalau surat-surat ini dia pakai jadi alas piring bjir!

"Nanti dikasih ke Juragan Fulan," katanya lagi, dan aku membulatkan mata syok.

"Lho, kenapa dikasih ke Juragan Fulan?" tanyaku heran, Fulan itu aku ingatnya salah satu juragan yang ada di sini, yang terkenal punya banyak istri dan kelakuan agak meresahkan. Namun, kenapa diberi ke dia? Apa ada suatu perjanjian atau apa?

"Katanya, kalau Abang kasih ke dia, nanti dikasih banyak alat pancing!" Mataku melotot.

Wah, ini gak bisa dibiarkan, Cakra ditipu! Si Juragan Fulan itu memang otak picik mencuri dari anak--maksudku pria sepolos Cakra. Tega sekali!

"Bang, jangan, jangan dikasih, ini kan surat berharga milik Abah Agus, masa Abang asal ngasih?" tanyaku, dan Cakra terdiam. "Lagi, ini surat bukan sembarangan surat, ini sertifikat, rumah, tanah, aset, segalanya punya Abang, gak bisa dikasih ke orang sembarangan!"

"Juragan Fulan ... kan bukan orang sembarangan, Dek?"

Aku menepuk kening, agak susah berbicara pada Cakra yang menanggapi secara lugas apa yang aku katakan. "Gini, Bang, surat ini mahal, ini tanda kepemilikkan Abang atas bekas kebun, tanah ini, dan lainnya. Abang mau gak punya rumah lagi? Gak punya ini itu lagi?"

Cakra spontan menggeleng. "Termasuk alat pancing ya?"

"Iya! Intinya Juragan Fulan mau nipu Abang! Jangan mau!"

Seketika, mata Cakra berkaca-kaca. "Ternyata Juragan jahat ...."

Aku menghela napas. "Udah, gak apa, Bang. Intinya jangan dikasih ke siapa pun, jaga dengan baik. Itu warisan dari Abah ke Abang."

Cakra mengangguk kemudian memeluk map itu, tetapi seperdetik kemudian, dia menyerahkannya ke aku.

"Adek aja yang nyimpen, Abang takut ilang."

"Eh?" Aku sebenarnya setuju soal itu, tapi apa tak masalah? Sepertinya tidak, aku kan tak butuh jadi orang jahat, uhuk, aku sudah kaya. "Abang serius?"

"Iya, soalnya kan Dek Tyona baik." Aku menghela napas pun mengangguk.

"Baiklah, nanti aku minta simpenin Ibu Bapak." Dia tersenyum berikutnya. "Ya udah, ayo ke rumahku, aku juga laper nih."

"Semoga ada sisa lontong sayur kemarin, Dek. Enaaaak!"

Aku tertawa akan tingkahnya, yah dia memang lumayan manis. Kami pun berjalan berdua ke rumahku dan jelas, jadi tanda tanya, kenapa aku tak pulang malam itu.

"Kan hu--" Baru mau jawab hujan, bapak nyeletuk.

"Namanya pengantin baru." Bused dah, kami tak sampai melakukan itu!

Hampir, sih.

Ibu kelihatan tak nyaman soal hal tersebut, tetapi tak berkomentar apa pun, aku pun malas meralat jadi memilih membersihkan diri saja karena setelah ini, mau membicarakan hal penting soal surat menyurat yang aku bawa, masih aku sembunyikan di balik bajuku sih. Cakra sendiri sepertinya sudah ke meja makan duluan.

Namun, tak aku duga, ternyata Cakra memang ada di meja makan, tetapi dia belum menyentuh makanannya sama sekali.

"Lho, gak dimakan, Bang? Emang gak enak?" tanyaku.

"Nungguin Adek ...." Dia menjawab, cengengesan, dan berikutnya disertai suara perut.

"Kalau laper makan aja, Bang, duluan. Gak usah nungguin aku."

Cakra menggeleng. "Lebih seneng makan kalau ada yang nemenin."

Terserahlah ....

Saat aku makan, barulah dia makan, lalu selesai makan ....

Tanpa diduga, Cakra mengambil piringku, merapikannya kemudian. "Lho, ngapain Bang?"

"Mau cuci." Perasaanku saja atau memang, perubahan Cakra amatlah signifikan. Aku jadi penasaran sebenarnya apa saja isi video itu, tetapi sayang sudah aku patah dua.

Duh.

Yang empunya marah gak ya?

Aku biarkan saja Cakra melakukan apa yang dia mau, kemudian menuju ibu dan bapak yang tengah bersantai di ruang tengah, tentunya membawa surat menyurat itu.

"Pak, Bu, ini ...."

"Lho, ini?" Mereka tanpa babibu mengecek isinya, dan syok menemukan apa yang ada di sana. "Surat Mbah Agus?"

"Iya, Bu, Pak, aku nemu di rumah Cakra dan kalian tau, itu dijadiin alas piring buat dia. Bantu simpenin, ya, Pak, Bu." Aku meminta, kalau di tangan mereka jelas aku bisa percaya. "Terutama dari Juragan Fulan, dia pengen nyuri ini dari Cakra dengan cara culas."

Ibu menghela napas. "Gak bisa, Nduk. Ini punya Cakra, dan otomatis karena kamu ... istrinya ... tanggung jawab ya sama kalian."

"Ibu betul, kamu yang harusnya jaga surat ini, sama Cakra, bawa aja ke kota sama Cakra. Atau, kalau mau, kembangkan saja usaha Mbah Agus, manfaatkan, untuk keperluan kalian. Bapak yakin Mbah Agus akan memutuskan begitu."

Aku mendengkus pelan. "Gak bisa, Pak, Bu. Lagi, Cakra juga keknya gak akan aku bawa ke kota, biar dia di sini aja."

"Tapi ...."

"Gak mungkin aku bawa dia ke kota, Pak, Bu, kalian pasti ngerti alasannya, aku--"

"Kenapa? Tapi, kita suami istri, Dek?" Suara Cakra mengalihkan perhatianku, seketika menoleh menemukan Cakra. "Jangan, jangan tinggalin Abang, Abang mau sama Adek, mau jadi suami baik, mau jadi suami baik!"

Tiba-tiba, dia tantrum, aku agak syok.

"Mm eng-enggak gitu, Bang, tapi aku kan nanti pulang juga ke sini sesekali, Abang--"

"Tapi suami istri harus berdua, harus samaan, terus siapa nanti yang jaga Adek? Rawat Adek? Bantuin Adek?" Kenapa dia tanya begitu sementara aku selama ini hidup seorang diri di kota, tanpa siapa pun, bisa tuh.

Astaga ....

"Huhu, jangan tinggalin Abang, Dek. Abang janji gak akan nakal dan jadi suami baik!" Dia memohon padaku, aku makin tak tega.

"Cakra betul, Nduk, kalian harus bersama sekarang, karena suami istri." Dan orang tuaku, bahkan ibu yang enggan pun, kelihatan tak membelaku kali ini. "Nanti kata orang ...."

Ya, lagi-lagi opini publik.

Sialan memang ....

Dan melihat Cakra, tantrum, tetapi sangat gigih, aku makin tak tega. Haruskah dia aku bawa ke kota? Beberapa hari lagi aku akan pulang ....

Bagaimana ini, Lord ....

"Abang mohon, Dek, jangan tinggalin Abang. Sama Abang ya. Abang jadi suami baik, pasti bisa."

Entah kenapa, ucapan lembut Cakra sambil nangis, walau ada ingusnya, membuat hatiku terenyuh. Tak ada pria yang menangisiku seperti itu, meski dia pria yang kekurangan, atau tepatnya istimewa, sialnya aku jadi luluh.

But, aku males mengakui lah!

Perjaka 45 [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang