14; perjaka 45

167 13 0
                                    

Setelah memancing puas, aku dan Cakra pulang dengan keadaan lebih lega, meski tak enak hati pada Arifin jadi aku meminta maaf padanya. Dia tak memaksaku, malah minta maaf balik karena aku benar-benar belum sembuh dari trauma itu, sulit rasanya melepasnya meski aku berobat. Yah, aku tak pernah benar-benar melakukannya, terlalu takut dengan kenyataan.

Di kampung berjalan, setidaknya, mulus, hingga beberapa hari kemudian aku pun pulang, tetapi sebelum benar-benar pulang aku memutuskan ke rumah sakit, sesuai yang aku katakan.

Melakukan program terbaik, bagiku, demi kelangsungan hidup seorang Cakrawala Vajasani. Kalau di aku sih, aman saja ya, karena aku sudah ada keponakan, sayangnya sih Cakra pasti butuh pewaris. Setidaknya aku akan menyumbangkan darah dagingku pula, tetapi tetap perlu ibu pengganti.

Cakra tak perlu tahu soal ini, aku hanya perlu meminta seorang wanita melahirkan anak kami, lalu merawatnya hingga cukup besar jadi aku berani memperhitungkan ke depannya, barulah dia tinggal bersama kami. Begitu pikiranku, Cakra tak akan bertanya banyak, aku jamin itu, karena dia mana berpikiran soal hal tersebut.

Setelah membicarakan perihal kami, kami pun diperiksa sedemikian rupa, hasilnya?

Aku sehat, Cakra pun demikian, kami berdua sepasang insan yang sehat.

Proses pengambilannya akan dilakukan besok, serta merta nanti aku akan mencari ibu pengganti, ada seorang yang aku tahu bisa dengan cepat melakukannya, yaitu siapa lagi kalau bukan Romansa Nugraha yang juga orang yang mencarikan kami pengasuh terbaik saat dulu.

Kami pun pulang ke rumah, mempersiapkan esok, dan mengabari Romansa soal hal tersebut.

"Program ibu pengganti? Apa? Tyona, lo tau itu hal yang ribet, bukannya lebih baik--"

"Rosa, gue rasa lebih baik begitu." Aku memutus ungkapannya. "Gue gak sanggup kalau harus carry seorang anak, bisa-bisa gue--"

"Sebenarnya rasa takut lo ini terlalu nyakitin, Tyo. Gue gak akan ngirimin lo ibu pengganti!" Mataku melotot akan ucapan Rosa. "Lo butuh psikiater, buat ngobatin trauma lo yang gak sengaja jatuhin adik lo pas kecil. Dia baik-baik aja sekarang, Tyo, kenapa lo masih dihantui rasa bersalah sih?"

"Lo kok--" Aku terdiam, harusnya aku tak kaget jika Romansa tahu banyak hal, dia hanya butuh blackcard untuk itu. "Gue ...." Dan aku kehabisan kata-kata.

"Lo lihat gue, Tyo? Lo lihat Sarah? Lihat Melissa? Lo lihat adik lo? Kami semua, wanita, gue ngerti lo takut, tapi apa lo gak berpikir soal ... betapa bangganya jadi seorang wanita? Hamil, melahirkan, kemudian menyusui. Apa lo tau kebahagiaan kami saat kami gendong mereka kali pertama? Mereka emang rapuh, gue juga takut, tapi jiwa keibuan gue lebih besar. Gue selalu hati-hati biar gak nyakitin anak gue, dan alhasil, gue bisa. Gue juga takut, Tyo, tapi gue gak mau tenggelam dalam rasa takut yang bisa aja bikin gue galfok!"

Aku memejamkan mata, ucapan Romansa memang ada benarnya.

"Saat itu, lo masih kecil, lo juga lemah, berusaha gendong bayi pasti susah. Lagi, nyatanya di masa lalu, adik lo baik-baik aja kan? Karena lo sempat nahan dia, lo kakak yang baik, Tyo. Dan gue yakin, lo juga bakalan jadi ibu yang baik. Gue jamin."

Masih, aku terdiam membisu karena ucapan Romansa.

"Gue gak akan kirimin lo ibu pengganti, beside, gue bakalan kirimin lo ... psikiater. Itu yang lo butuhin saat ini. Oke?"

Aku menghela napas, apa memang ... seharusnya aku begitu? Aku takut, rasanya gemetaran seluruh badan, tetapi mendengar penuturan Romansa aku jadi semakin kepikiran soal orang-orang sekitarku yang sudah menata hidup sebagai seorang ibu. Kebanding minus yang dikisahkan, pula dibarengi bahagia di sana.

Apakah memang sebahagia itu?

Dan ... tak semenyeramkan itu?

"Oke ...."

"Good, we love you, Tyona. Biarin kami nolong elo ...."

Aku tersenyum kecil. "Thanks, Rosa, dan yang lain ...." Panggilan dimatikan sepihak, dan aku sedikit takut dengan keputusanku.

"Dek, Dek, coba tebak apa yang Abang masak."

Aku menoleh ke Cakra, mendapati pria itu berdiri di ambang pintu. "Masak apa, Bang?"

"Sepak hati!" Sepak hati?

"Sepak hati? Menu apa itu, Bang?"

"Sini, sini!" Cakra menyuruhku ke sana dengan gesturnya yang bak anak-anak mengajak bermain seperti biasa, meski bingung apa yang dia maksud akhirnya aku mengekori.

Siapa sangka, di dapur, tersaji meja yang sudah dihias ... sedemikian rupa.

Aku agak menatap miris melihat keadaan, ugh, aku tahu mungkin Cakra berusaha romantis, tetapi dia meletakkan lilin biasa di meja, bukannya setidaknya lilin aromaterapi atau yang merah merona jadi jelas suasananya, aku memang tak punya, tapi ini malah lilin biasa.

Seakan nyuruh ngepet, lho.

Tak hanya itu, pot bunganya pun, potnya sih indah, tetapi bunganya ... kayak kenal.

Oh astaga, punya tetanggaku itu, aku harus menggantinya nanti. Aduh, Cakra, benar-benar deh kadang. Aku jadi makin pening setelah kejutan tadi, mengusap kening frustrasi.

"Adek, pusing ya?" Aku menghela napas dan menatap Cakra lagi, wajahnya kelihatan kentara khawatir, jadi aku tak bisa benar-benar marah padanya, aku banya menggeleng. "Duduk aja, Dek."

Dia memegang bahuku lembut, kemudian mendudukkanku di kursi.

Tidak buruk sebenarnya, untuk pria yang kali pertama menyiapkan makan malam 'romantis'. Ya, ini kali pertama, siapa yang mengajarinya ya?

Benar juga, dari mana dia belajar?

Karena ini dilakukan baru kali ini, biasanya Cakra juga baru tahu.

"Ayo nikmati Adek, makanan favorit Adek, sepak hati."

Oh, aku baru sadar, menunya ....

Kala menatap, aku menemukan mie instan di sana. Sepak hati?

Ouh, maksudnya spaghetti? Astaga, jauh sekali kepelesetnya.

"Spaghetti, Bang. Kok sepak hati?" kataku, tertawa geli.

"Eh, salah ya? Maaf, Dek, Abang lupa."

Meski sebenarnya, aku mau meralat hal lain, ini mie instan, bukan spaghetti, tetapi tidak buruk juga. Mungkin sama? Entahlah.

"Ayo makan, Dek, enak lho. Itu juga ada sayur, telur, sosis, kesukaan Adek. Tambah juga keju, nih." Aku tersenyum akan perhatian penuh Cakra padaku.

"Abang sendiri, enggak makan?"

"Adek aja yang makan, Abang kenyang." Dia menepuk-nepuk perutnya. "Makan yang banyak, ya, Adek."

Aku tersenyum, yah, lumayan menghibur, aku pun mulai memakan mie instan buatan Cakra itu.

Enak.

Namun, rasanya tak nyaman, karena Cakra memperhatikan. Biasanya, sih, kami makan bareng, tetapi kali ini sepertinya Cakra menahan diri. Meski aktingnya sangat buruk, dia menatap fokus ke makananku, sesekali menjilat bibir kemudian menyeka tepian bibir.

Jelas sekali, dia juga mau, aku jadi makin geli.

Aku pun mengarahkan garpu berisi mie ke wajahnya. "Abang makan juga nih, aku suapi."

Cakra menggeleng cepat. "Jangan, kan punya Adek, Abang--"

Aku mengabaikan cerocosannya dan memasukkan sesendok mie ke mulutnya.

"Enak, Bang?"

Cakra mengangguk tanpa bisa berbohong. "Enaaak!"

Perjaka 45 [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang