10; perjaka 45

253 22 0
                                    

Cakra selalu memperlakukanku bak ratu, selayaknya yang dilakukan bapakku ke ibu, benar-benar bersungguh-sungguh dengan pembelajaran yang sepertinya diberikan langsung oleh bapak pula, secara diam-diam, yang kadang aku pergoki ketahuan. Saat bapak menerangkan ini itu ke Cakra, wajah pria itu serius, meski tak menghilangkan roman-roman kekonyolan di sana.

Begitu seterusnya, hingga hatiku rasanya hampir terlena.

Siapa sih yang tak baper? Cakra itu greenflag, selayaknya kekasih hati Romansa, Pak Arjuna, meski dulu dia lambenya bak ibu-ibu ternyata Arjuna sehalus itu aslinya. Namun, Cakra ini memang se-green itu, ngeri aku menghadapinya, rasanya batasanku yang bak tembok dia hantam dengan badan genderuwo itu.

Dia menginap di sini, dan sudah bisa ditebak, di mana dia tidur?

Benar, di kamarku, bersamaku, awalnya aku risi tetapi uniknya, kala aku masuk ke pelukan besarnya yang empuk dan wangi tersebut--aku kaget dia pakai parfum favoritku, pasti dari bapak, sih infonya--aku menenang dan berhasil tidur nyenyak. Sial rasanya aku tak kuasa menolak itu semua, si greenflag ini terlalu nyaman.

Aduh ....

Mungkin batasanku akan sedikit berubah, sedikit.

Lalu, di hari H kepergianku ....

"Jaga diri kalian baik-baik, ya, Tyona, Cakra, dan Cakra ... ingat pesan-pesan Bapak."

Cakra mengangguk patuh. "Woke, Pak! Percayakan Adek sama aku." Aku rasa Cakra yang kurang punya kelebihan, baru kusadari, dia punya ingatan yang sangat bahkan luar biasa baik.

Beberapa orang seperti memang diberi kelebihan lain terlepas kekurangannya, sih. Mungkin, andai diperiksa, atau disekolahkan dengan benar, Cakra bisa mengasah bakatnya. Entah apa itu. Sayang sekali, sih, di kampung, Cakra bahkan tak mengenyam pendidikan formal sampai SD.

Kekurangannya itu membuatnya sulit tamat, bahkan dia lulus di usia hampir 18 tahun.

Padahal anak holkay, bisa ditangani dengan baik, tetapi entah masalah apa, sepertinya Cakra sendiri sih yang bermasalah, aku ingat dia merengek tak mau sekolah dan tak mau belajar, mau mancing doang. Nostalgia soal Cakra memang membingungkan kadang.

Kini, aku dan Cakra pamit dengan semuanya, termasuk adik serta iparku, dan saat cipika cipiki dengan adikku.

"Kak, aku sayang Kakak, jangan sakiti diri Kakak lagi ya ...."

Aku tersenyum kecut. "Mana ada Kakak nyakitin diri Kakak sendiri, sih. Kamu ngaco!" Meski aku tahu persis arah pembicaraannya ke mana.

Soal itu, pasti, tetapi sungguh aku tak mau memikirkannya. Batasanku memang melonggar, tetapi aku menerima Cakra setidaknya jadi suami di atas kertas yang green-green, bukan seintim itu, apalagi sampai ....

Kami pun akhirnya berangkat, naik mobilku yang sudah beres di bengkel, sementara Cakra duduk di sampingku. Sesekali aku lihat, dia melirik ke arahku.

"Adek ...."

"Iya, Bang?" tanyaku, tanpa melihat ke arahnya.

"Naik mobil seru, ya. Keknya seru juga liat Adek nyetir--"

"Gak boleh, Bang. Abang gak punya SIM." Dia terdiam, aku tahu persis dia mau mengendarai mobil ini, aku lihat dia nyengir kuda malu-malu, tetapi kelihatan kecewa pula akan jawabanku. "Nanti kita celaka, Bang. Abang mau kita nabrak?"

Spontan, Cakra menggeleng.

Namun, aku jadi merasa bersalah, bagaimana cara menghiburnya ya?

Ah, benar.

"Nanti kita ke arena bermain, main mobil-mobilan, mau?" Syukur saja, dia tersenyum dan mengangguk. "Tapi nanti ya, Bang."

Karena aku punya ragam kesibukan hari ini.

Cukup lama berkendara, bahkan Cakra sampai ketiduran, dia ngorok dengan mulut menganga di sana, agak lucu, hingga akhirnya kami tiba di rumah.

Cakra masih belum bangun juga meski mobil sudah berhenti di depan apartemenku. "Bang, Bang Cakra." Sedikit aku tepuk-tepuk pipinya. "Ih iler!"

Kampret, aku kena air liurnya, mana bau. Segera aku lapkan ke badan Cakra sendiri. Saat itulah dia terkesiap bangun, menatap polos sekitaran dengan mata sayu sementara aku agaknya dongkol.

"Udah sampai ya, Dek?" tanya Cakra.

Aku menghela napas panjang. "Iya, sudah. Ayo keluar."

Dia pun berusaha bangkit, tapi sabuk pengaman menghalanginya. "Adek, Abang nyangkut."

Aku menghela napas, pun melepaskan sabuk pengaman untuknya, dan siapa sangka dia membantu melepaskan sabuk pengamanku usai melihat apa yang aku lakukan. Lumayan, lumayan so sweet, kami pun keluar mobil bersamaan dan aku mulai membuka bagasi.

"Adek, Abang aja yang angkut, Adek istirahat aja di dalam." Sigap tanggap cepat, layaknya suami terhebat, memang aku malas angkut sana sini apalagi tanganku kebas karena berkendara lumayan lama.

Aku mengangguk, membuka pintu, dan membiarkan Cakra membawa masuk barang-barang kami sementara diriku duduk di sofa.

Home, sweet home.

Meski aku tahu banyak hal yang akan aku lakukan.

Namun jujur saja, aku mau ambil cuti, atau mungkin resign, dan memulai hal baru yang lebih menguntungkan dengan surat menyurat di tanganku ini. Aku sudah memikirkannya, ini menjanjikan, untuk masa depanku dan masa depan Cakra.

Omong-omong soal teman-temanku, mereka mestinya tahu aku sudah pulang hari ini, karena sudah aku beritahu jauh-jauh hari, tetapi aku tak kaget kala mereka tak memberikan selamat. Karena pasti sibuk dengan masing-masing, dan entah apa nanti komentar mereka menemukan suamiku di sini.

Oh Lord ....

Aku rasa tak akan ada rahasia yang bisa aku sembunyikan, karena jujur saja aku membutuhkan mereka semua. Beres-beres nanti, mengabari teman nanti, aku capek, mau tidur lagi, besok sajalah beraktivitas walau aku ragu aku mau melakukannya.

Kini, baik aku dan Cakra mulai memasuki kamar.

"Wah, kamar Adek bagus banget," kata Cakra mengomentari, memang jelas berbeda dari kamarnya ataupun kamarku di kampung, lebih modern.

"Hm, mandi dulu baru kita tidur." Cakra mengangguk patuh, dia membersihkan diri duluan dan karena ada sedikit kerumitan di kamar mandi modernku, aku membantunya sebentar, dia lekas paham saja ternyata.

Dia mandi, usainya, barulah aku yang mandi. Kala aku keluar dia masih handukan, jadi agar cepat kering seperti biasa aku membantunya memakai hairdryer.

Entah sejak kapan aku dan Cakra, sedekat ini, bak suami istri.

Eh, bukan bak lagi, memang suami istri, sih.

Setelahnya, kami pun tidur, posisi seperti biasa aku masuk ke pelukan Cakra, setidaknya posisi mesra ini bisa bertahan beberapa saat karena kala kami tidur, akhirnya ke mana-mana juga.

Bangun pagi, aku dan Cakra membuat sarapan bersama, dan dengan semua kegiatan ala suami bak pria dewasa itu, tingkah Cakra masih perlu penanganan, aku tahu persis aku membutuhkan pengawalan, pengasuh, atau apalah sebutannya jika aku sibuk kerja, karena aku tak mungkin bisa 100% menangani Cakra sendirian.

Betul, kan?

Pagi, siang, sore, berjalan mulus ....

Namun, kala malam. "Adek."

"Iya, Bang?"

"Abang mau mancing, mancing di sini bisa enggak?" Oke, hobi memancingnya itu sepertinya membuat tangan Cakra gatal jika sehari saja tak melakukannya.

Di sini, area penuh hiruk pikuk dunia ini, mana ada spot mancing. Ada, tetapi jauh, bahkan aku ragu ada selokan dengan ikan, banyaknya sih sampah.

"Gak ada Bang. Abang main di hape aja game mancing, gimana?"

"Wah, bisa main mancing? Dapet ikan gak nanti?"

"Dapet, tapi ya cuman game, mungkin bisa dapet skor. Main itu aja ya? Soalnya jauh mau mancing."

Syukur saja dia mengerti meski kecewa. "Nanti kalau ada waktu, kita mancing ke kolam, oke?" Bak anak kecil sih, aku janjikan dia bahagia lagi.

Perjaka 45 [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang