11; perjaka 45 21+

728 17 0
                                    

Dan akhirnya, belum aku aba-aba, persiapan, perihal aku sudah bersuami terbesar secara tak sengaja karena Cakra sendiri. Dia memainkan ponselku saat aku lengah pengen ke WC, bukannya ponsel yang aku suruh untuknya, dia tak sengaja me-video call CS-ku dan akhirnya, aku pun menjelaskan semuanya dalam keadaan lelah.

Makin capek aku dibuatnya, tetapi setidaknya sih ada beban berkurang karena rahasia terbongkar. Kami berbagi info lain, salah satunya Sarah yang kemungkinan besar resign.

Kalau begini, sih, sudah ditebak, aku ikutan. Aku gak ada temen, dan aku rencananya berbisnis lain.

Nanti, saat siap, aku akan membicarakan perihal bisnis itu.

Akhirnya, aku terlelap di sofa, saking lelahnya, tetapi kala bangun ....

Entah kenapa, aku tak menemukan Cakra di mana-mana.

"Bang? Bang Cakra? Kamu di mana, Bang?" Tak aku temukan dia di mana pun, sampai akhirnya aku temukan ....

Mahar--maksudku alat pancing, tak ada di tempatnya.

Segera aku keluar rumah, dan aku temukan beberapa tetangga keluar rumah sambil melihat ke arah pot-pot bunga besar, tanahnya gembur seakan habis digali, aku jelas kaget akan hal itu.

"Lho, ada apa ini?" tanyaku, menggigit bibir bawah sebentar, firasatku enggak enak.

"Ada orang iseng gali-gali tanah di sini, ngotorin halaman, makanya kami minta Pak Satpam buat buka CCTV nyari siapa pelakunya." Aduh, aku merasa aku tahu persis siapa pelakunya, tetapi terlalu takut mengatakan, aku harap semoga bukan Cakra yang tengah mencari cacing.

Mana ada cacing di sini, sih!

Argh!

"Mm anu, apa ada yang liat cowok, tinggi besar gitu, jalan bawa pancingan?" tanyaku, gugup, meneguk saliva kelat.

"Yang tinggi kayak genderuwo itu ya?"

Seorang anak kecil bersepeda menjawab, aku mengangguk ragu. "Adek ada lihat?"

"Aku liat pas mandi di kolam renang belakang, Tante, dia lagi mancing! Hihi! Aku udah ngasih tau gak ada ikannya, jadi dia pergi, deh."

Aku menepuk kening, astaga suamiku itu! Meresahkan!

Aku pun mencari ke sekitaran apartemen dengan sepeda yang aku pinjam dari tetangga, tiada aku temukan suamiku, sampai akhirnya aku memutuskan memakai mobil guna mencari dirinya.

Pusinglah aku, ke mana tu orang? Padahal badan gede tapi tak kelihatan-kelihatan.

Sampai akhirnya, di pinggir jalan, aku melihat seorang tinggi besar tengah mendorong gerobak bakso milik kakek tua, aku melihat keadaan untuk mencari spot parkir dan kala menemukannya, aku percepat mobilku, memakirkannya, barulah keluar dari menghampiri sosok itu.

"Bang Cakra!" teriakku sebal, dan Cakra menoleh.

"Eh, A--aw aw sakit!" Aku tanpa pikir memukul-mukul lengan besarnya. "Sakit, Dek ...."

"Abang dari mana aja sih, huh?! Nyusahin tau gak?! Abang tadi yang gali tanah di pot nyari cacing kan?! Terus, ini, ke mana ini?! Abang mau ke mana?! Kan aku udah bilang gak ada spot mancing di sini! Nanti di kolam!" Aku mengomel, marah banget intinya, jujur saja aku capek fisik dan mental sekarang, dan kelakuan Cakra membuatku semakin kesal.

Cakra terlihat menggeleng sejenak, kemudian menunduk. "Maaf, Abang gak sengaja."

"Tenang, Nak, tenang. Bicarakan baik-baik saja di rumah, nanti kedengeran orang." Suara lembut sang kakek tak meringankan bebanku, aku sangat kesal, sungguh.

Namun, dia ada benarnya, nanti saja di rumah.

"Ya udah, Abang anter kakek ini, aku ngikutin di mobil."

"Sudah, Kakek tak apa, kalian pulanglah. Ingat, bicaralah dengan kepala dingin, kalian berumah tangga, tenang, sabar." Susah! Dia tak tau penderitaanku!

Cih!

"Kakek ... gak apa aku tinggal?" tanya Cakra.

"Gak apa, Le. Terima kasih banyak." Dan setelah salim, Cakra pun mengekoriku, masuk mobil dan aku kendarai dengan kecepatan lumayan tinggi. Selain sendu, kini dia kelihatan takut, tetapi tak berani komentar apa pun.

Lalu, sesampainya di apartemen.

"Masuk sana!" kataku, aku melihat kerumunan di depan ruang CCTV yang ada, pun barulah aku ikut mereka.

"Apa ... udah ketahuan siapa yang lakuinnya?" tanyaku, pada salah seorang tetangga.

"Hm, iya, anak-anak nakal lewat."

Seketika, rasa bersalah menyeruak. Ternyata, aku salah sangka, itu bukan Cakra, jadilah aku berlari masuk rumah dan tampak, Cakra menangis tergugu di sofa.

"Bang Cakra, aduh ...." Aku segera menghampiri, pun memegang tangannya, dia memang salah iya, tapi tak sefatal itu, jadi tak seharusnya aku segalak tadi. Bahkan dia baik hati menolong seorang kakek.

"Maafin Abang, Dek, Abang nakal. Abang bukan suami baik. Hukum aja Abang, biar Abang gak nakal lagi ...." Dia terisak pelan, dan aku merasa bak dihantam godam.

Segera, aku tarik dia ke pelukan. "Hust hust hust, Abang gak salah, Adek yang salah sangka. Maaf, ya, Bang. Cup cup cup, jangan sedih, cup cup cup." Aku berusaha menenangkannya.

Terus berusaha, dan meski dia menenang, tetap saja perasaan sesal ini memenuhi dadaku.

Cakra, meski tak mengeluarkan air mata lagi, badannya gemetaran dan ada isakan kecil di sana, kala aku menatap wajahnya, dia kelihatan takut dan menunduk sendu, benar-benar menyakitiku. Dia memang bermental bak anak kecil, jadi aku sangat amat tak tega dengan itu.

Bagaimana ini? Bagaimana cara menenangkannya?

Apa ....

"Udah, ya, Bang, udah." Selain pelukan, aku mulai mengusap seluruh badannya lembut, selembut mungkin agar dia nyaman.

Kemudian, ehem ....

(Selengkapnya karyakarsa, cuman Rp. 2000)

Perjaka 45 [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang