(Selengkapnya di karyakarsa Rp. 2000)
Sekali lagi, aku dua kosong, Cakra tepar tak berdaya.
Dan aku tidur di atas badannya.
Saat bangun, aku sadar, aku amatlah berlebihan membuat suamiku sepertinya bukan tertidur, melainkan pingsan tak berdaya. Gila, ini gila, tak seharusnya aku patuh pada nafsu itu, untungnya nadi Cakra masih ada dan napasnya terdengar menderu, agak ngorok, aku rasa aku harus membawanya ke rumah sakit untuk itu.
Aku segera membersihkan kekacauan kami, dan mau tak mau Cakra dalam keadaan begitu.
Syukur saja, tak lama dia bangun, keadaanya kelihatan lelah.
"Mm Abang gak apa?" tanyaku, agak takut.
Cakra menggeleng. "Capek, Adek, tapi enggak apa-apa. Abang senang kalau Adek senang, tapi ... ini enggak setiap hari kan Adek? Abang takut."
Oke, aku rasa aku baru saja membuat Cakra trauma.
Aku tersenyum pun menggeleng. "Abang mandi, ya. Nanti aku bikinin makan malam."
Cakra mengangguk, dan biasanya cewek yang susah jalan kan sehabis malam pertama, lah ini cowoknya. Kasihan ....
Aduh.
Mau ngakak tapi kasihan, sebaiknya aku beri dia makanan banyak-banyak agar tenaganya pulih lagi.
Sesuai ungkapan, aku memasak banyak menu, dan kesukaan Cakra, mostly, dan saat dia datang dengan cara berjalan anehnya, dia tersenyum manis melihat menu yang ada. Aku kautkan sepiring jumbo dan dia kelihatan bahagia.
"Makasih, Adek!"
"Hm, iya sama-sama."
"Dek, Abang janji gak akan langgar lagi, janji."
"Iya, Bang, iya. Udah ayo makan, jangan pikirin itu lagi." Aku yang malu, oke?
Dia makan dengan lahap, yah setidaknya selera makannya tak berkurang.
Dan entahhlah, rasanya diriku sudah di-charger, apa mungkin aku menghisap tenaga Cakra? Aneh-aneh saja. Aku jadi bersemangat membicarakan soal ... bisnis dengan yang lain.
Cakra ikut di sana, dia main game memancing saja, dan kami pun membicarakan soal bisnis.
Setidaknya semuanya tentang itu sampai topik agak menyeleweng ke soal anak, ugh, aku tak nyaman. Kami baru saja melakukan sesuatu, tapi tanpa masuk, dan aku tak berpikir akan pernah masuk kecuali dalam keadaan KB. Sudahlah, aku tak mau memikirkannya, aku mau fokus dengan bisnis ini saja.
Keesokan harinya, karena masih agak merasa bersalah, aku mengajak Cakra ke tempat kolam mancing, kami pun memancing berdua dan dia sangat amat bahagia akan hal tersebut. Tingkahnya yang kekanakannya sedikit menimbulkan perhatian, agak malu, tapi aku senang dia bahagia lagi setelah kemarin.
Lalu, selain memancing hingga siang, panas terik begini, kami pun makan bersama di pondok yang tersedia di sana, dengan ikan yang kami pancing.
"Dek, rasa ikannya lain, ya. Gak kek di desa." Aku mengerti lidahnya, di desa air terkenal jernih dan bersih tanpa polutan.
Namun, satu ini ....
"Ikan kota," kataku, dia mengangguk saja.
Setelah makan kenyang, sebentar mancing lagi, kami pun ... tak langsung pulang. Aku ingat menjanjikan Cakra soal mobil-mobilan itu, meski kemudian berpikir semoga dia tak kelihatan ketuaan untuk itu.
Tapi, dia memang tua.
Sayangnya, aku tak kuasa menahan, karena rasa bersalah membuatnya susah jalan kemarin. Bukan bagian dia nangisnya. Dia kelihatan masih agak aneh pula cara jalannya.
Barulah, usai puas dengan semua arena bermain karena tak hanya itu yang kami mainkan, kami pulang dengan keadaan lelah, tetapi tadi sungguh membahagiakan.
"Kota seru, ya, Dek ...." Cakra berkata, tersenyum manis padaku. "Cuma, gak bisa sering mancing."
Huh, sulit soal itu.
"Abang nikmatin aja yang ada, ya. Nanti kalau ada waktu senggang, ya kayak tadi, seru kan?" Dia mengangguk cepat dan antusias.
Esoknya, pengasuh yang dikirim Rosa datang untukku, dan dia ini pengasuh tua khusus yang berkedok pembantu. Seenggaknya, bebanku meringan, tapi aku tak bilang Cakra beban kok, maksudku, yah, aku harus mengawasinya ekstra karena aku harus mengurus bisnisku.
Cakra sendiri, dia terus melakukan apa yang memang diajarkan bapak atau video kaset itu, menjadi suami baik. Dia mulai terbiasa dengan kota ini, rumahku, lingkunganku, dan dia cepat beradaptasi dengan fasilitas tersebut.
Sungguh, sangat amat baik.
Super duper greenflag, pokoknya.
Namun, sungguh pula semuanya tak bisa meyakinkanku untuk ke jenjang memiliki anak meski beberapa kali aku disinggung soal tersebut. Terlalu menakutkan, dan aku tak tega akan hal tersebut.
Aku bukanlah ibu yang baik.
Tak akan pernah jadi ibu yang baik.
Lama, lama, dan lama mengurus ini semua, bisnisku, Rosa, Sarah, dan Melissa, mulai terlihat batangnya, dan Sarah serta Melissa pun mengalami perubahan ukuran signifikan pada perut sesuai usia kandungan mereka.
Enggak, aku tak iri.
Meski tak lama pula, aku mendengar kabar Arifin pula ikut ngisi, dia akhirnya hamil juga.
Tidak, aku tak merasakan apa pun. Rasa takutku masih terlalu besar, kalah besar dengan rasa tertinggalku, ataupun rasa inginku menjadi seorang ibu.
Banyak wanita yang menginginkan jadi seorang ibu, tetapi bukan aku salah satunya, atau aku salah satunya tetapi tak ada kesiapan soal itu.
Aku terlalu ketakutan untuk itu ....
Takut sejarah terulang kembali ....
Di mana, saat kecil, dulu, aku pernah menggendong Arifin Putri, si kecil yang rapuh, dan tanpa sengaja menjatuhkannya hingga Arifin mengalami pendarahan cukup parah.
Sebenarnya, orang tuaku tak menyalahkanku, aku masih terlalu kecil katanya, tetapi aku tahu persis orang tuaku menyalahkan diri mereka sendiri, yang secara tak langsung menunjukku sebagai dalangnya. Aku merasa akulah yang bersalah.
Memang aku.
Omongan orang-orang pun, teman-teman mengejekku, aku penjahatnya ... aku.
Meski Arifin sekarang tumbuh besar dan sehat, tetapi tetap saja ....
Aku takut.
Mereka kecil, rapuh, tak berdaya.
Aku sungguh takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjaka 45 [tamat]
Romantizm[21+] Kejulidan emak-emak memang SETAN! Tyona Putri, mengambil cuti lama untuk pernikahan sang adik, selain sibuk soal itu, di satu sisi dia mulai nostalgia bersama teman masa kecilnya--Cakrawala Vajasani--yang memiliki kekurangan. Menurutnya itu pi...