9; perjaka 45

230 23 0
                                    

Beberapa hari lagi aku akan pulang dan mau tak mau aku akan membawa Cakra bersamaku nantinya. Cakra bahkan disuruh siap-siap dari sekarang, dan diajak bermalam di sini untuk hari-hari nanti sebelum ke kota, tentu dia dengan senang hati karena obsesi baru menjadi suami baik itu, aku membuat teh hijau panas demi meredakan peningku memikirkan itu semua sebentar sebelum akhirnya menuju ke ruang tamu.

Namun, suara seseorang menghentikanku.

"Maaf, Bapak, Cakra enggak tahu kenapa kasetnya rusak. Padahal masih bagus malem tadi," kata Cakra, aku mengintip dan menemukan ia yang sepertinya baru balik mengambil barang-barangnya menghadap bapak.

"Haduh, haduh, gak mungkin kasetnya rusak sendiri! Oh ya kalian malem tadi, ngapain aja?" Tanpa keraguan, Cakra menceritakan apa yang terjadi padaku dan ia tadi malam, kedua pipiku memerah tetapi tak kuasa ingin keluar.

Jujur saja, aku ingin mendengarkan soal ini, yang mengedepankan fakta jika pemberi kaset itu, ternyata bukan siapa pun, melainkan bapakku sendiri. Bahaya juga bapak menyuruh Cakra bohong.

"Ouh, keknya dia kaget kamu nonton begituan, jadi ya langsung dia rusak."

Cakra menggeleng. "Enggak, Pak, bukan Adek, Adek gak ngapa-ngapain kaset ini. Mungkin rusak karena ... keinjek."

"Ini sih dilipat sengaja Cakra, mana ada rusak begini? Ya udahlah gak papa, nanti Bapak ngasih uang aja buat ganti rugi ke ...." Ouh, ternyata Cakra tak bohong, memang dari sana dia meminjam kasetnya, tetapi atas dasar keinginan bapak. Tetap saja biang keroknya sih.

Dia hampir bikin anak gadisnya ini diperkaos tau, gak?

Iya kami halal, tapi ugh ... ogah pokoknya!

Aku memijat pelipis, malas mencerca persoalan meresahkan kelakuan bapak yang sepertinya ngebet sekali aku dengan Cakra, entah kenapa, beda sekali dengan ibu yang masih maju mundur, tetapi aku rasa ini soal hutang budi Mbah Agus untuk bapak di masa lalu. Kalau tanpa beliau, memang kehidupan keluargaku, tak akan sesejahtera itu.

Di masa lalu, Mbah Agus memperkerjakan bapak dan ibu sebagai pekerja kebunnya, bahkan membiarkan mereka mengambil sepuasnya dan menjajakan sisa untuk kebutuhan kami, demi menghidupi aku dan Arifin di masa lalu. Hasil kebun itulah yang membuatku bisa berkuliah di kota, dan mengubah nasib, hingga akhirnya sampai ke titik ini.

Ah ... mengingat Mbah Agus dan kedermawanannya, membuatku sadar aku memang harus lebih hangat pada suamiku, meski aku enggan melakukannya. Terlepas itu, yah, bisa disesuaikan sepertinya meski aku membawa Cakra ke kota, hubungan suami-istri kami bisa dibatasi dengan syarat dan ketentuan tertentu. Oke, terserahlah, aku makin pusing. Kini aku tiba di dapur, duduk saja di salah satu kursi dan meletakkan teh hijauku.

"Adek kenapa?" tanya seseorang, aku terkesiap sedikit karena tadi tengah mijat kening seraya memejam, pun spontan mendongak menatap sumber suara di samping.

Ternyata, itu Cakra, dan kini ekspresinya kelihatan khawatir. Mukanya dekat sekali pula denganku, kemudian dia menekan tangannya ke jidatku, betulan ditekan gitu jadi aku agak mundur, mungkin maksudnya mengecek suhu badan tapi gak gini juga hei!

"Adek pusing ya? Sakit?" Aku menghela napas gusar seraya menjauhkan tangan Cakra.

Aku pusing, tapi bukan secara fisik. "Aku gak papa, Bang."

"Tapi tadi kenapa Adek kayak itu?" tanyanya, kepo.

"Ya gak kenapa-kenapa, Bang." Ada sedikit nada yang aku tekan di sana, barulah Cakra menjauhkan wajahnya dariku.

Cup!

Namun, siapa sangka, sebuah kecupan mendarat di kening, aku menatap Cakra dengan syok, meski agak melongo.

"Kalau sakit bilang ya, Adek," katanya, bak ke anak kecil, kemudian membereskan meletakkan koper ke samping lemari.

Perlakuannya tadi ... sialan emang, sebagai cewek dengan hati tentu aku merasa agaknya baper, hanya saja tak jadi, deh. Batasan, ingat, batasan.

"Bawa apa aja emang di dalam situ, Bang?" tanyaku, aku penasaran barang berharga apa yang Cakra bawa, dia disuruh mengambil yang penting.

"Baju, celana, celana dalem, sarung, sikat gigi mm ...." Tanpa aku duga, dia mengeluarkan sebuah kertas dari sakunya, pun memperlihatkannya padaku. "Ini yang disuruh Ibu bawa."

Ternyata, ibu me-list alat yang memang wajib Cakra bawa, sementara sisanya entah dikemanakan, aku rasa akan diurus mereka juga. Soal surat-surat penting Cakra, tentu ada di tanganku sesuai kesepakatan.

Karena bisa saja dia bawa seisi rumah sih kalau enggak diberi list.

Mungkin ada yang bertanya, kenapa dia tak membawa alat pancing, karena semuanya jadi maharku tentu jelas aku sudah menyimpannya, di sudut kamar ini. Aku baru meliriknya dan Cakra sudah nyeletuk.

"Dek, mau mancing ya?" tawarnya, aku menoleh malas. "Eh, tapi enggak akan dibawa bapak-bapak serem terus dimarahin, terus dinikahin kan?"

Aku mendengkus, mana ada lagi yang begitu, sudah jelas para bapak itu tak akan mengganggu kebersamaanku dengan Cakra, lebih tepatnya pasti puas abis melihat kesialan kami atas fitnahan mereka.

"Gak akan lah, Bang, kita kan udah ... suami istri." Suaraku mengecil saat perkataan terakhir. "Abang aja kalau mau mancing, aku males."

"Oke, Dek. Nanti Abang bawain lobster air tawar gede buat Adek!" Dia berjanji, dan aku hanya bisa membalas dengan senyum kecil yang terpaksa.

Dia mengambil peralatan mancingnya yang jadi maharku itu, tapi boleh gak sih dipakai pihak pria? Setahuku ... ah udahlah, capek aku.

Cup!

Dan siapa sangka, kedua kalinya, Cakra memberikanku ciuman mendadak, kali ini di pipi hingga kedua pipiku memerah padam. "Abang berangkat dulu, Adek Sayang!" Cakra lalu beranjak tanpa mempedulikan perasaanku yang campur aduk karenanya.

Bentar, bentar. Hobi cium tiba-tiba, lalu sayang-sayang ini.

"Bapak ...." Aku menggeram sebal, iya iya, aku tahu bapak maksudnya baik, ingin Cakra jadi suami yang baik seperti dia sama ibu, tapi ....

Tapi ....

Argh! Pusing!

Tanpa pikir, aku meminum teh hijauku yang sudah dingin hingga tandas, sebelum akhirnya berbaring saja malas ke mana. Rebahan, turu brutal, tak ingin memikirkan apa pun selain mimpi, atau tak usah mimpi sama sekali.

Ternyata, tidurku tak cepat, karena aku lumayan capek secara mental, dan kini malahan aku hanya rebahan.

Tak ada yang menggangguku sama sekali, hingga entah sudah berapa lama waktu berjalan, yang aku dengar cuma suara jam dinding tanpa melihatnya sama sekali. Namun, sepertinya dari cahaya luar di balik jendela, jingga, sudah sore.

"Adeeek, coba liat Abang bawa apa!" Suara Cakra terdengar di ambang pintu, aku menoleh dan dia terlihat tersenyum semringah seraya mengangkat setundun pisang di tangan.

Oke, dia mancing, kenapa tiba-tiba ada pisang sebesar itu di tangannya? Bukannya ikan atau lobster air tawar?

"Lho, pisang?"

"Maaf, Dek, hari ini Abang enggak dapet mancing, tapi tadi bantu Aki di kebun, dikasih ini. Bikin kolak yuk? Adek kan suka kolak?"

Dia ... mengapa tahu sekali apa yang kusuka?

Perjaka 45 [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang