4; perjaka 45

1.2K 57 0
                                    

Think, Tyona, think!

"Oh, benar ...." Aku baru ingat satu alternatif terbaik, entah kenapa aku sempat lupa cara ini andai suasana tak kacau.

"Pak, Bu, kasih saya kesempatan untuk membuktikan kami berdua enggak bersalah! Karena kami memang enggak bersalah! Saya akan bawa pihak kepolisian menyelidiki kasus ini, dan siapa pun yang salah ... bakalan dijeblosin ke penjara!" kataku penuh penekanan di kata terakhir sambil menatap para bapak yang menuduh kami berdua.

Dan terlihat, beberapa dari mereka kelihatan kikuk, takut, walau yang lain masih meyakininya. Aku tersenyum puas akan hal itu.

"Gimana, Bapak-bapak? Ready masuk ke penjara--"

"Halah! Kamu kan kaya, bisa malsuin apa aja lewat uang! Kami rakyat kecil, hanya meyakini adat setempat! Gak usah bawa-bawa orang luar! Curang namanya!" Mataku melotot tak terima. "Anak muda zaman sekarang memang dasar!"

"Siapa yang curang, huh? Bapak yang bondong-bondong nuduh saya enggak-enggak, saya--"

"Tyona, sudah ...." Tanpa aku duga, bapak memegang tanganku, menghentikan aksiku seketika. "Sudah, Nak, terimalah hukuman kamu dengan lapang dada."

"Tapi, Pak, hukuman buat apa? Kami enggak ngapa-ngapain!" Aku menegaskan diri.

"Nak ...." Suara bapak tampak parau, dan aku mengerti maksudnya.

Dia tahu persis, mudah bagiku memanipulasi keadaan dengan uang, benar, tetapi apa yang aku manipulasi jika aku benar? Bapak mungkin menghormati para pria tua yang membombardir aku dan Cakra dengan tuduhan semena-mena. Namun, apa dia rela anak gadisnya dibeginikan? Menikahi pria ... yang kurang.

Aku ... aku bukan bermaksud shaming apa pun, oh aku jadi merasa bersalah sekarang. Konyolnya.

"Nikahkan saja mereka! Nikahkan!" Aku mengusap kepala kasar, sialan memang.

"Nak Tyo ...." Kali ini Pak RT bersuara, aku memijat pelipis,

"De-Dek Tyo ... nikah sa-sama Abang?" Tiba-tiba, suara Cakra terdengar dengan sesenggukan, khas sehabis menangis, aku kaget akhirnya dia bersuara lagi dengan pertanyaan itu. "Nikah?" tanyanya.

"Sebaiknya, kita pulang sekarang, hari sudah larut, besok kita akan bermusyawarah soal hal ini."

Dan berikutnya, aku pulang ke rumah, dengan keadaan amat letih dan lelah, Cakra sendiri pun berpisah, begitu pula jelas yang lain.

"Bu, Pak, aku tetep bakalan minta pihak kepolisian nyelidikin ini," kataku akhirnya, bapak dan ibu hanya diam sambil bertukar pandang. "Aku sama sekali gak bersalah." Kutatap keluarga kecilku dalam-dalam, mereka hanya diam seribu bahasa, dan aku menghela napas seraya memasuki kamarku.

Aku juga masih enggan berbicara dengan siapa pun, jujur saja.

Mau teriak, andai aku ada di hutan, sudah aku lakukan. Acara mancing besok gatot, gagal total!

Keesokan paginya, aku tak terlalu fit, meski demikian aku mau tak mau ikut musyawarah, mereka masih saja berikeras ingin menikahkanku dengan Cakra, yang saat ini tak berada di musyawarah itu--katanya tak terlalu penting karena Cakra bahkan tak memahami banyak hal. Aku meminta satu keringanan, biarkan aku membawa pihak kepolisian, tentunya aku gigih karena tak merasa bersalah sama sekali.

Terserahlah orang tuaku menolak, tetapi sudah hakku membela diri sampai titik darah penghabisan.

Untukku, dan untuk ke-single-anku.

Seharian itu, aku tak menemukan Cakra di mana-mana, feeling-ku sepertinya dia memancing. Benar saja, sih, dia baru pulang dari mancing, hobi sekali dia dan seakan tiada beban sebesar aku saat ini.

"Dek Cakra, tadi ke mana, enggak mancing bareng?" tanya Cakra, apa dia lupa perihal kemarin.

Aku hanya tersenyum kecut. "Lagi ada urusan, Bang."

"Urusan nikah kita ya, Dek?" Ternyata dia tahu, kali ini barulah wajahnya terbebani. "Adek mau Abang, kita nikah?"

"Kita enggak salah, Bang, jadi untuk apa begitu?" Cakra mengedipkan matanya, dia tua tapi bisa juga puppy eyes ternyata, lumayan imut.

Uh, apa yang aku pikirkan?

"Enggak nikah?"

"Yah begitulah ...."

"Tapi kalau kita nikah, kita bisa mancing bareng setiap hari, Dek." Entah kenapa pembicaraannya saat ini, dia terkesan mau menikahiku? Atau lebih tepatnya sih pemikiran kanak-kanaknya. "Biar enggak ada yang marahan lagi. Kan?"

Benar, bukan?

"Bang, pernikahan bukan soal mancing berdua setiap hari, itu hal yang jauh lebih rumit." Setidaknya untuk isi kepala Cakra yang simpel. "Maaf, ya, Bang, tapi bukan berarti kita gak bisa mancing bareng seterusnya, kok."

"Oh, gitu." Dia manggut-manggut. "Emang nikah itu gimana, Dek?"

"Nikah itu ...." Bahkan aku sendiri pun ragu mengetahui detail pernikahan apa saja, terlebih aku sepertinya punya kecenderungan menghindari bahkan takut akan hal tersebut perihal masa lalu kelamku. "Pokoknya, yah, begitulah. Abang gak usah terlalu pikirin. Oh ya, itu ikannya banyak dapet, Bang?"

Cakra mengangguk. "Tapi banyakan kemarin pas sama Adek, Abang mau ikut masak boleh?"

Itu menjadi sebuah kecanggungan besar yang ada, sesuai dugaanku, tetapi Cakra terlalu sulit memahami apa yang tengah dihadapinya di masalah orang bermental dewasa ini. Tepok jidatlah aku.

Akhirnya, esok paginya, aku memutuskan menuju ke pihak kepolisian, tak sendirian, aku ditemani bapak dan dua orang pria lain si penuduh ngasal ke sana sebagai pengawas, katanya sih biar tak kabur. Bagaimana aku kabur? Barang-barangku dan keluargaku kan di desa itu!

Konyol.

Lalu, saat tiba di sana, ternyata dalam jam-jam sibuk melakukan laporan.

Perlu pelicin, tapi ya jelas sih tak mungkin dilakukan dengan dua saksi mata yang melarang kami begitu padahal bukan maksud menuju ke sana.

Dan kebetulan, sinyal lumayan bagus di sini, aku rasa seraya menunggu aku bisa menghubungi teman-temanku.

Dan saat menghubungi mereka ....

Lho, Sarah, bersama seorang pria?! Siapa dia?!

Usut punya usut, ternyata itu calon suami Sarah, yang saat ini tengah hamil! Ya, Sarah hamil! Dan cowok itu, sepertinya aku kenal, di televisi, benar saja dia rockstar muda ternama kesukaan Vivian poni sedeng, Brendon Urwin.

Aku melongo, whaaaat!

Iri, sih, tetapi mungkin aku tak seiri itu hingga membuatku kebelet nikah, pertama Rosa, kedua Sarah, lalu ... Vivian sajalah, aku sih tak butuh.

Aku yang ingin mengisahkan soal kisahku, lebih penasaran kisah Sarah dan cowok itu, jadi membiarkannya cerita dahulu. Namun, inilah masalahnya, tiba-tiba lampu padam, yang otomatis membuat sinyal menghilang tanpa kekuatan.

Heck sh!t!

Bahkan, mati lampunya lama sekali, tak nyala-nyala, jadi pihak kepolisian tak bisa apa-apa mengatasinya. Entahlah, tak ada genset atau bagaimana.

Mau tak mau, kami pulang, tak ada kantor kepolisian terdekat, mau tak mau menunda esok.

Lalu, esok harinya ....

Lagi-lagi, hari sial hadir, entah kenapa mobilku bermasalah, dan aku lupa kapan terakhir kali membawanya ke bengkel. Menyebalkannya, para pria tua dan ibu-ibu bilang.

"Udah jelas itu, ditunjukkin kalau kamu salah, makanya mau bela diri enggak ada yang beres!"

Kurang ajar mulut mereka, waktuku makin sempit karena kala pernikahan adikku terlaksana, maka sudah dipastikan aku akan dinikahkan secara agama.

Perjaka 45 [tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang