22 - RAYDEN

3.9K 467 77
                                    

Sesuai dengan saran Arqian tadi, Bastian sekarang sedang video call-an dengan Echa melalui aplikasi WhatsApp. Dengan handphone Bastian yang disandarkan di tas yang tergeletak di atas meja, terhitung sudah beberapa menit mereka berbicara. Sampailah di mana tiba-tiba Rayden yang juga sesekali ikut nimbung dalam pembicaraan mengajukan sebuah permintaan. “Cha, bagi foto lo yang lagi pake baju sekolah satu, boleh? Kirim ke gue sekarang.”

Echa mengerutkan alisnya heran, lalu bertanya, “buat apaan?”

Rayden berdecak, tak lama berkata dengan nada tak santainya, “kirim aja kenapa, sih? Tinggal kirim gitu, lho. Kalo nggak ada, lo foto sekarang, buruan.”

Ravindra di seberang sana jadi menatap Rayden sinis kala Ravindra sendiri tak sengaja menatap Echa yang jadi tersentak kaget karena nada bicara Rayden. “Biasa aja dong.”

Rayden yang menyadari kesalahnnya jadi menciut dengan tatapan Ravindra padanya. Tak lama dia bergumam, “iya, sorry.

Ravindra masih memasang wajah sinisnya. “Minta maaf yang bener.”

Rayden itu sebenarnya lakik banget, tapi kalau sudah sekali dibentak bakalan berubah menjadi bayik. Apalagi orang yang membentaknya itu seperti Ravindra yang kalau marah seremnya kebangetan. Lihatlah sekarang bibirnya mencebik dengan mata yang kini mulai berkaca-kaca, berkata dengan suara pelan, “maaf, Echa, janji nggak gitu lagi.”

Echa jadi menahan tawa, sama halnya dengan Arqian dan Bastian yang kini juga jadi saling tatap dengan Echa seolah mereka lagi berbicara melalui tatapan itu. “Iya, okey, nggakpapa. Udah, Ji, ya ampun, anak orang itu.”

“Nggak bisa, ngeselin soalnya,” cibir Ravindra.

Echa saat ini berada di kelas. Kelasnya sepi karena bel istirahat kedua sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Dia tidak ke kantin. Padahal Fahmi tadi sudah mengajaknya ke kantin, tapi dia menolaknya dengan alasan karena dia tidak lapar, malas juga berjalan kaki, mager, mending duduk main handphone sendirian di kelas.

Sedangkan keempat sahabatnya di seberang sana, tidak tau lagi di mana. Yang jelas mereka tidak lagi di sekolah, mungkin membolos. Ah, tapi, setelah dipikir-pikir, dia tau dengan tempat itu.

“Buruan kirim fotonya.” Rayden sekarang merengek dengan memasang wajah memelasnya bak anak kucing yang meminta dikasihani. Arqian yang melihat itu langsung saja meraup wajah pemuda itu, gemas.

“Buat apaan dulu, Rayden?” tanya Echa dengan suara tanpa sengaja melembut di akhir kata, membuat ketiga sahabatnya di seberang sana jadi tertegun, tidak dengan Rayden.

“Ada, buat itu, lho. Nanti juga lo tau,” jawab pemuda itu.

“Iya-iya, gue kirim, eh atau nggak gue foto bentar.” Echa manggut-manggut.

“Yeay!” seru Rayden bersorak gembira yang membuat Echa terkekeh.

* * *

Menarik paksa Ravindra untuk ikut berdiri seraya berkata, “ayolah, Ji, foto berempat.” Setelahnya kembali menarik paksa Arqian yang dengan ogah-ogahan berdiri menurutinya.

“Masalahnya siapa yang mau fotoin, bege?”

Mendengar itu Rayden jadi berpikir, lalu netranya tanpa sengaja bertatapan dengan netra pemuda yang juga berada di sana, di tempatnya membolos. Tak heran juga kalau bukan hanya mereka berempat saja di sana, banyak juga manusia-manusia lain. “Bang, tolong fotoin, please. Sekali aja, eh, enggak deng, dua kali.” Berkata demikian, Rayden malah menunjukkan ketiga jari kanannya.

“Itu tiga, bego,” tutur Bastian sebal.

“Iya, tiga kali maksudnya.”

Ravindra menatap Rayden dengan mata mendelik. “Greget banget, sialan. Sini nggak lo, gue cubit-cubit idung lo.”

Sequoia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang