03 - WARNING

7.3K 843 131
                                    

Sedangkan diwaktu yang sama, tapi di tempat yang berbeda. Tepatnya di warung sederhana mak Nining alias warning, yang biasa dijadikan tempat tongkrongan anak muda, terdapat banyak pemuda yang menghabiskan waktu mereka di sana. Ada yang berbincang, bercanda, bermain game online, bermain catur, bermain gitar, bernyanyi, makan, tidur, ngerokok, dan lain sebagainya.

“Api asmara yang dahulu pernah membara.” Salah satu pemuda di sana yang bernama lengkap Fadhil Devran Pradana biasa dipanggil Fadhil, tiba-tiba saja memulai senandungannya dan tak lama setelahnya terdengar suara petikkan gitar.

“Semakin hangat bagai ciuman yang pertama,” lanjut pemuda lain berkulit hitam manis yang memainkan gitar di pangkuannya. Namanya Argata Samuel Arvano, biasa dipanggil Arga atau Muel.

“Detak jantungku seakan ikut irama.” Kini si pemuda humoris dan manis kalau sudah tersenyum yang memperlihatkan lesung dikedua pipinya yang membuka suara, melanjutkan. Pemuda pendek satu ini namanya Gavin Aleandra Pratama, biasa dipanggil Gavin.

“Karena terlena.”

“Oleh pesona.”

“ALUNAN KOPI, DANGDUT.” Dan mereka bertiga mengakhiri nyanyian mereka dengan diikuti suara kompak dari semua pemuda yang ada di sana.

“Terima kasih, terimakasih.”

Gavin yang memiliki tingkat kepercayaan diri tinggi itu pun berkata yang membuat mereka semua jadi menatap malas ke arahnya. “Nggak usah dipuji, kita emang udah keren dari sananya.”

Request lagu dong, Bang,” kata salah satu pemuda yang merupakan adik kelas mereka.

“Bayar,” sahut Arga, Fadhil, dan Gavin kompak membalas.

“Etdah, pelit banget.”

Sabodo teuing,” balas Gavin tak peduli.

Fadhil yang tadinya bernyanyi dengan posisi berdiri dan salah satu kaki yang dia angkat ke atas kursi, kini sudah kembali duduk ke tempat semula. Lalu dia bertanya membuka suara dengan wajah bingungnya, “si Bos sama Kutub ke mana, dah?”

Mereka yang mendengar hanya mengelengkan kepala dan mengangkat bahu pertanda tak tau. Nah, bertepatan itu pula dua motor berwarna hitam dan biru datang secara bersamaan dan pengendara motor itu memberhentikan motor mereka tepat di parkiran depan warung mak Nining yang memang luas.

Dua orang pengendara itu pun turun dari motor saat sudah melepaskan helm masing-masing, berjalan memasuki pekarangan warung mak Nining. Kini terlihatlah wajah tampan mereka, yang satu dengan wajah cerianya dan yang satu lagi dengan wajah datar tanpa ekspresinya.

“Panjang umur lo berdua, baru juga ditanyain,” kata Arga seraya bertos ala lelaki dengan kedua pemuda itu secara bergantian.

“Kenapa nanya-nanya? Kangen?” tanya si pemuda dengan wajah ceria dan tengilnya seraya menaik-turunkan alisnya, menggoda.

Dia Althaf Kenan Galendra, si tampan berbadan atletis yang kini terlihat keren karena penampilannya yang memakai hoodie hitam, celana jeans hitam sobek dikedua lutut, tindik di telinga kirinya, dan rambut yang acak-acakan menambah kesan bad boy abal-abal di dalam jati dirinya.

“Kagak, basa-basi doang.” Jawaban dari Gavin ini mampu membuat seorang Althaf mengumpat dan menatap pemuda itu kesal.

Fadhil yang dari tadi duduk, kini terlihat menghampiri pemuda yang bersama Althaf tadi yang sekarang sudah duduk di kursi kayu yang memang disediakan di warung itu.

“Eh, Kutub. Diem-diem bae, ngomong napa.” Tangannya merangkul bahu si pemuda dengan sok akrabnya.

“Berisik,” balas pemuda yang sering dipanggil kutub oleh para sahabatnya itu. Jangan tanyakan kenapa dia sering dipanggil dengan nama Kutub oleh sahabatnya, itu karena dia adalah pemuda berwajah datar tak ada ekspresi dan irit kalau sudah berbicara. Kalau tidak penting? Ya dia bakalan tidak mau bicara. Kalau sudah sekali bicara, dia bakalan membalasnya dengan mengeluarkan kata-kata pedas dan tajamnya dengan tanpa ekspresi sama sekali.

Sequoia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang