Sedih dan juga lesu yang terlihat di wajah Ayasha sejak pagi tadi seakan sudah menghilang jauh entah kemana. Seakan-akan hari ini tidak pernah ada ekspresi itu di wajahnya. Karena sudah digantikan dengan keceriaan hanya karena kue kering yang sudah ada di atas meja makan.
Ayasha yang seperti ini membuat Araya semakin yakin kalau adiknya itu sangat pandai bersandiwara. Sayangnya hanya dia yang mampu melihat dan merasakan itu. Sementara Ayah dan Bunda mereka bahkan benar-benar terlarut dengan sandiwara gadis kecil ini dan tetap menganggapnya imut.
“Aya mau kue buatan Kakak hari ini. Sudah lama sekali nggak makan itu. Aya nggak akan merengek untuk ikut Ayah dan Bunda asalkan Kak Ara mau membuatnya untuk Aya.”
Hanya dengan kalimat-kalimat itu, nada suara yang memelas dan juga wajah yang menyedihkan, Bunda mereka langsung meminta Araya untuk membuatkan apa yang di inginkan oleh putri bungsunya. Bahkan Disa melotot dengan mata yang nyaris keluar ketika Araya sempat menolaknya.
“Wah, banyak sekali. Kak Dewa boleh minta?” tanya Dewa kepada Ayasha. Lelaki itu baru saja kembali dari luar. Dia tadi pergi dengan beberapa orang teman sekelasnya.
“Aku akan kasih Kak Dewa. Sedikit aja tapi.”
“Enggak apa-apa jika sedikit. Adik Kak Dewa ternyata sangat baik.”
Pemandangan Dewa mengelus kepala Ayasha dengan lembut seperti sekarang menimbulkan rasa iri dan tidak ikhlas di hati Araya. Sepertinya dia menjadi posesif kepada lelaki itu akhir-akhir ini. Padahal Dewa juga sering melakukan itu padanya. Terutama di saat mereka sedang berdua saja.
“Memasukkannya pelan-pelan, Dek,” tegur Araya ketika melihat adik kecilnya itu memasukkan kue ke dalam kaleng dengan sedikit kasar dan terburu-buru. “Nanti hancur dan pada akhirnya terbuang karena nggak kamu makan.”
“Iya-iya,” gumam Ayasha dengan suara yang terdengar malas.
Kalau Ayasha sudah mendapat apa yang diinginkannya maka dia akan berubah semakin menyebalkan. Seolah-olah Araya sudah tidak akan dibutuhkannya lagi.
“Kenapa kembalinya cepat sekali, Kak? Memangnya tadi kemana?” tanya Araya kepada Dewa sambil mendudukkan badan.
Jika saja Araya tidak melihat Dewa pergi dengan teman-teman sekolah mereka yang laki-laki, mungkin saja dia akan sibuk uring-uringan. Araya tidak suka melihat murid-murid perempuan yang masih saja mencari perhatian Dewa walau lelaki itu kini sudah mendapatkan julukan baru. Dewa si idola sekolah yang dingin.
Jika sebelumnya Dewa bersikap ramah, kini kebalikannya. Dewa sepertinya sudah mulai muak menjadi pangeran tampan yang baik hati dalam imajinasi gadis-gadis sehingga berubah menyebalkan. Jika mengingat cerita ayahnya tentang Dewa, Araya pikir Dewa hanya kembali pada sikap buruknya.
Tapi tentu saja sikap itu tidak berlaku kepada Araya dan keluarganya. Dewa masih lelaki yang sama seperti hari pertama Araya melihatnya di sekolah. Nilai tambahnya, Dewa begitu baik dan menyenangkan.
“Mereka mengajakku main basket. Tapi lapangannya jelek sekali, aku jadi malas main. Diajak sewa tempat mereka nggak mau. Kejauhan katanya. Jadi cuma duduk sebentar saja, terus aku pulang.”
Dasar orang kaya!
“Memang cukup jauh, Kak. Berarti tadi ke lapangan basket yang dekat sekolah dasar itu? Yang di sebelahnya juga ada lapangan bola?”
Tangan Araya membuka satu kaleng dan mulai menyusun kue ke dalamnya dengan gerakan pelan dan hati-hati. Nantinya ini harus dia sisihkan sebelum adiknya menyimpan semua kaleng ke dalam kamar.
“Iya di sana,” gumam Dewa dengan mulut yang mengunyah. Dia menepuk kedua tangannya demi menjatuhkan remahan yang menempel di tangannya. “Karena itu lebih baik aku di rumah saja dengan kamu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Tied in Love [Tamat]
Literatura FemininaAraya Maharani menyadari rasa ketertarikan kepada sepupunya, Aditya Dewangga. Pemuda tampan yang sayangnya memiliki sikap yang buruk sehingga dipindahkan ke sekolah yang sama dengannya. Cintanya yang bersambut membuat Araya lepas kendali. Semua yang...