“Kak Dewa nggak bisa dipercaya.”
Perkataan adiknya tadi kini terngiang-ngiang di telinga Araya setelah dia membiarkan dirinya ditarik Dewa hingga berakhir disini. Terlambat kah jika dia mulai merasa waspada dan mempercayai kata-kata adiknya tadi? Salahkah jika dia takut dengan apa yang akan terjadi berikutnya?
Araya memandangi Dewa yang sudah membuka pintu lebar. Pria itu berdiri dengan posisi menyamping. Sebelah tangannya tidak terlepas dari kenop pintu. Pria itu menunggunya untuk masuk terlebih dulu.
“Aku nggak ingin bicara disini,” tolak Araya sekali lagi.
Sudah tak terhitung berapa kali sejak masih didalam mobil di parkiran hingga saat ini kalimat itu keluar dari mulut Araya. Sejak menyadari dimana tempat yang diinginkan Dewa sebagai tempat mereka bicara, Araya sudah menolak. Tapi anehnya dia tidak memberontak sama sekali ketika Dewa menggenggam tangannya dan menariknya untuk mengikuti langkah pria itu.
Sementara Dewa sama sekali tidak perduli dengan penolakan darinya. Mungkin hanya dia saja yang terlalu berpikiran buruk sementara Dewa tidak. Itu yang Araya yakinkan sekarang. Meskipun begitu, dia tetap merasa resah.
“Kamu persis seperti kaset rusak,” ejek Dewa yang membuat Araya mendengus. “Aku bilang masuk, Araya.”
“Aku nggak mau,” tolaknya. “Kita bicara ditempat lain ya? Di restoran atau di rumah nenek juga boleh. Asalkan jangan disini.”
Araya mencoba memberi penawaran lagi. Berharap kali ini Dewa akan berubah pikiran sehingga mereka berpindah tempat. Kamar hotel bukan pilihan yang tepat untuk tempat mereka bicara. Entah apa yang menjadi pertimbangan Dewa sehingga ketika diperjalanan tadi, pria itu langsung memesan satu kamar hotel.
“Pertama, aku nggak mau masalah rumah tanggaku didengar orang lain jika kita bicara di restoran. Dan kedua, aku nggak mau penjagamu tiba-tiba datang lagi seperti sebelumnya jika kita bicara di rumah nenek.”
Araya menggenggam tasnya dengan erat. “Kalau kamu nggak mau pindah tempat, aku pulang,” ancamnya. Araya benar-benar merasa tidak nyaman sekarang.
“Kak Ara selalu lemah jika menyangkut Kak Dewa.”
Perkataan Ayasha tadi kembali terngiang di telinganya. Adiknya itu benar. Dia sangat lemah jika itu menyangkut Dewa. Karena itu lah, sebelum terjadi sesuatu yang tidak mereka inginkan maka lebih baik Araya menjauhi kemungkinannya.
Dewa yang menyadari bahwa Araya yang siap pergi langsung menatap tajam wanita itu. “Masuk sendiri atau aku akan menyeretmu lagi?”
Kepala Araya menggeleng. Kali ini dia tidak akan menuruti Dewa. “Aku akan berteriak jika kamu macam-macam,” ucap Araya balik mengancam.
Bibir Dewa tersenyum geli. “Silakan saja. Biarkan semua orang tau apa yang terjadi sekarang dan didalam nantinya.”
Araya yang merasa takut setelah mengartikan kalimat Dewa langsung melangkah mundur. Dia takut dengan dirinya sendiri yang tidak mampu bertahan jika Dewa mengambil langkah yang salah untuk mereka. Tapi Dewa tidak membiarkannya dengan menarik tangannya.
“Dewa?” rengek Araya tanpa sadar. Dia mencoba bertahan ketika Dewa menarik tangannya.
“Kamu mau membuat keributan disini?”
Araya menggeleng. Dia melirik kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang melihat tingkah mereka berdua. “Oke! Aku akan masuk. Tapi kita hanya akan bicara kan?” tanyanya hati-hati. Dia harus memastikan dulu kalau Dewa memang tidak memiliki niat untuk melakukan sesuatu kepadanya, selain mereka hanya bicara saja.
“Memangnya apa yang kamu pikirkan?” tanya Dewa dengan bibir tersenyum miring. Dia melepaskan tangan Araya. “Katakan kepadaku, apa yang sedang kamu pikirkan Araya,” pintanya sambil mengusap kepala Araya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tied in Love [Tamat]
Chick-LitAraya Maharani menyadari rasa ketertarikan kepada sepupunya, Aditya Dewangga. Pemuda tampan yang sayangnya memiliki sikap yang buruk sehingga dipindahkan ke sekolah yang sama dengannya. Cintanya yang bersambut membuat Araya lepas kendali. Semua yang...