Bagian 35

30.6K 1.9K 62
                                        

Flashback on

Dewa duduk di kursi dekat meja belajar di kamarnya. Dia mencoba menekan tombol panggil sekali lagi setelah beberapa hari ini tidak juga bisa terhubung. Tapi rupanya masih jawaban dari operator yang sama yang dia dapatkan.

Dia menghela nafas kecewa. “Nggak bisa dihubungi juga. Kakak yakin ini nomor Araya?” tanya Dewa dengan suara bernada kesal.

Sebenarnya Dewa bukannya kesal dengan Hera karena kakaknya itu jelas sudah membantunya mendapatkan nomor baru Araya. Tapi dia kesal dengan jarak ini. Terlebih lagi Araya yang tidak bisa dia hubungi sejak hari keberangkatannya. Hingga kini sudah hampir dua tahun lamanya dia berada di luar negeri.

Araya hilang bak ditelan bumi. Meskipun kata mamanya Araya baik-baik saja, tapi tetap saja bagi Dewa kabar itu tidak cukup membuatnya puas. Tidakkah Araya merindukannya sehingga wanita itu seakan tidak masalah jika mereka tidak berkomunikasi seperti ini? Sedangkan dirinya saja begitu merindukan Araya. Dewa ingin melihat wajah Araya. Dewa ingin mendengar suara wanita itu.

Hera yang sedang membuka kopernya menoleh sekilas. Melihat wajah adiknya yang sama sekali tidak enak untuk dipandangi. “Benar. Om dan tante yang memberikannya belum lama ini.”

Dewa mendesah. “Sejak dikirim Mama, aku sudah mencoba menghubungi berkali-kali. Tapi tetap saja nggak terhubung. Dia mungkin sangat sibuk kali ya?”

Hera berdiri setelah mengambil pakaian gantinya. Niatnya untuk bersenang-senang jadi sedikit terganggu karena adiknya terus menanyai tentang Araya. Dia maklum saja sebab selama satu tahun penuh di tahun terakhir Dewa SMA, adiknya itu sangat dekat dengan Araya. Seperti sepasang anak kembar saja.

“Mungkin. Araya memang susah sekali dihubungi. Om dan Tante sendiri yang bilang. Lagi pula perbedaan waktu disini dengan disana itu lama, De. Coba hubungi saat tengah malam.”

“Aku sudah mencoba semuanya, Kak. Mulai tengah malam, subuh, pagi, siang, sore, jam delapan hingga jam sebelas malam. Aku juga sudah mengirim pesan. Aku rasa nomornya nggak aktif lagi.” Dewa menarik nafas ketika terlalu bersemangat bicara. “Tapi dia baik-baik aja kan?”

Dewa mengusap tengkuknya salah tingkah ketika Hera menatapnya lekat. Entah kakaknya itu mungkin sudah menduga hubungannya dengan Araya atau belum, Dewa tidak perduli. Sepertinya lebih cepat keluarganya tahu, maka lebih baik.

“Mereka bilang Araya baik-baik saja. Kuliah kedokteran memang membuatnya sangat sibuk. Dimaklumi aja, De. Araya mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan nyawa manusia.”

Dewa tersenyum. “Itu memang impiannya. Tidak heran jika dia akan terlalu fokus dengan pendidikannya. Dia pasti akan jadi dokter yang hebat nanti.”

“Aku rasa juga begitu. Habisnya dia sangat-sangat pintar. Selain pintar, rajin belajar juga. Kamu kalah jauh, De.”

“Bidang kami berbeda, Kak. Jelas nggak bisa dibandingkan,” protes Dewa. “Apa nomorku sudah diberikan Mama padanya?”

“Sepertinya Mama sudah mengirimnya kepada tante.”

“Tolong tanyakan lagi apa Araya sudah menerimanya atau belum, Kak.”

Hera mengangguk. “Aku akan minta Mama tanyakan nanti. Memangnya kamu nggak simpan nomor Kak Tama? Nomor Om atau Tante?”

“Ponselku dulu kan hilang,” ucap Dewa. Dia kehilangan ponselnya entah dimana ketika sedang bersama teman-temannya. Untungnya dia menghafal nomor lama Araya. Sayangnya nomor itu juga sudah tidak digunakan. “Kenapa aku nggak kepikiran ya? Tolong kirimkan nomor mereka, Kak.”

Hera segera meraih ponselnya. Mengirim tiga kontak yang memang ada di ponselnya. “Daripada menjadikan Mama sebagai sumber informasimu, lebih baik langsung saja tanyakan kepada keluarga Araya.”

Tied in Love [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang