Bagian 27

30.8K 2.2K 23
                                    

Araya menutup kembali kotak P3K setelah memastikan semua peralatan yang tadi digunakannya sudah masuk. Meskipun menyadari sejak tadi Dewa menatapnya sambil tersenyum sendiri, Araya tidak mengindahkan pria itu. Luka yang ada di tangan Dewa menjadi fokusnya. Meskipun dia tetap dibayangi dengan kalimat-kalimat Dewa yang didengarnya tadi.

Setelah ini apa yang harus dia lakukan? Araya bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Dia jelas tidak bisa bersikap seperti di rumah sakit tadi. Emosi yang meledak-ledak hingga kemarahan yang mampu mengalahkan pikirannya. Karena nyatanya, Dewa bukan orang yang tepat sebagai tempat pelampiasannya.

“Biarkan saja disana. Kita harus bicara sekarang, Araya.”

Perkataan Dewa menghentikan gerakan Araya yang sudah siap untuk berdiri. Dia meletakkan kotak yang sudah diangkatnya itu kembali ke atas meja. Araya sedikit bergeser untuk memberi jarak antara dirinya dan Dewa. Kedua kakinya merapat. Sementara itu kedua tangannya saling meremas satu sama lain di atas paha. Gugup. Itu yang menggambarkan dirinya saat ini.

Tatapan Araya lurus, tertuju kearah depan. Sebisa mungkin menghindari tatapan Dewa yang tidak pernah lepas darinya. Jantungnya berdetak kencang. Dia tidak tahu respon apa yang harus dia katakan setelah mendengar penjelasan Dewa nantinya.

Dewa mengurangi jarak diantara mereka. Tindakan pria itu membuat Araya refleks bergeser lagi hingga ujung sofa panjang yang mereka duduki. “Apa yang kamu lakukan?” desis Araya. Dia menatap Dewa dengan mata melebar. Seakan-akan jika dia lengah pria itu bisa saja melakukan sesuatu yang tidak dia inginkan.

Dewa menatapnya bingung. “Kenapa? Aku hanya ingin duduk lebih dekat denganmu. Apa itu salah?”

Araya menggeleng. “Tetap disana. Jangan bergeser lagi,” perintahnya.

“Apa terjadi sesuatu?” tanya Dewa dengan mata menyipit.

“Nggak. Lebih baik kita bicara sekarang saja.” Araya memiringkan tubuhnya agar bisa melihat wajah Dewa. “Jelaskan mulai dari kebohonganmu. Kamu bertemu dengan Nathalia malam itu. Bukan teman-temanmu seperti yang kamu katakan padaku.”

Dewa memiringkan kepalanya. Memperhatikan Araya yang jelas terlihat sangat berbeda dibandingkan dengan tadi. Entah perasaannya saja atau tidak, sikap wanita itu juga berubah. Tatapan mata Araya yang membara penuh emosi, seakan melalui itu bisa menelan Dewa dalam sekejap mata kini tak ada lagi.

Apa dia melakukan kesalahan lain? Dewa jadi bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Tapi bisa saja tidak karena tatapan Araya padanya kini terarah kepada sesuatu yang baik.

“Kenapa sekarang aku merasa kamu sedikit lebih lembut, Araya? Apa yang sedang kamu rencanakan?”

Rencana? Memangnya apa yang dia rencanakan? “Aku nggak punya rencana apapun,” jawab Araya jujur. Dia bahkan tidak bisa berpikir dengan baik sekarang.

“Benarkah?” tanya Dewa tak yakin. “Lalu kalau aku memberi penjelasan, apakah kamu akan mempercayaiku?”

Araya mengangkat bahu dengan gelengan singkat dikepalanya. “Tergantung. Apa kamu bisa membuatku percaya atau enggak.”

Dan jawaban itu membuat Dewa semakin yakin. Ada yang salah dengan Araya. Dia bukannya tidak senang dengan hal ini. Hanya saja dia takut Araya tiba-tiba menghilang setelah memberinya harapan yang baik.

Apa mungkin itu yang direncanakan Araya? Mencoba bersikap seakan-akan percaya kepadanya lalu pergi lagi? Menghilang tanpa kabar lagi? Dewa jelas tidak akan membiarkan itu terjadi.

Dewa mencoba mengingat-ingat. Apakah setelah mereka masuk ke rumah dia sudah mengunci pintu depan dengan kunci yang ada ditangannya tadi? Sepertinya tidak. Dia seketika menjadi waspada. Apa jika dia mengunci pintu sekarang, Araya tidak akan curiga?

Tied in Love [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang