Bagian 12

27.1K 1.9K 21
                                    

“Dewa yang lebih dulu memukuli saya, Pak.” Kalimat pertama Andi setelah Soni meminta untuk menjelaskan apa yang terjadi di antara dirinya dan Dewa. “Saya duduk didekat Musholla. Dia menarik saya ke gudang dan memukuli saya begitu saja.”

Dewa berdecak tidak sopan. “Dan jangan lupa kalau kita berakhir berkelahi secara jantan. Jangan cengeng seperti ini, Andi. Kamu bahkan sangat menikmati perkelahian kita tadi. Sengaja ingin membuatku terlihat buruk?”

Andi menatap Soni dengan senyum penuh kemenangan diwajahnya. Lelaki itu kini merasa di atas angin. “Bapak dengar sendiri bukan? Dia sama sekali tidak membantah ucapan saya.”

“Apa alasan kamu menarik Andi dan memulai perkelahian, Dewa?” tanya Soni tegas.

Dewa melirik Araya sekilas. Lelaki itu menghela nafas. “Karena mulutnya hanya mengeluarkan sampah. Dia pantas mendapatkannya, Pak.”

“Dewa,” tegur Tama. Kepalanya menggeleng ketika Dewa menatapnya. “Jawab pertanyaan gurumu dengan kalimat yang sopan dan jelas.”

“Anak yang tidak tahu diri. Mulutnya lah yang mengeluarkan sampah. Apa seperti ini yang diajarkan orang tuamu di rumah?”

Araya menatap Ibu Andi dengan raut wajah tidak suka. Perkataan itu sama sekali tidak pantas keluar dari mulut orang tua seperti dirinya.

“Dan seperti apa yang Tante ajarkan kepada Andi sehingga mulutnya benar-benar kotor?”

“Dewa!” tegur Tama.

Dewa memutar tubuhnya agar menghadap sepenuhnya kepada Soni. “Pak! Saya mohon agar Bapak meminta Araya pergi dari sini. Dia tidak ada kaitannya sama sekali. Saya akan berbicara jika dia tidak ada disini.”

“Dewa,” tegur Tama kesekian kalinya. “Jangan mempersulit apapun. Lebih cepat kamu bicara maka masalah ini bisa lebih cepat diselesaikan. Dengan begitu Ara bisa kembali ke kelas.”

“Tapi, Kak,” protes Dewa. Lelaki itu hanya menghela nafas ketika mendapat tatapan tajam dari Tama. “Kamu!” tunjuk Dewa kepada Bayu. “Kamu saja yang jelaskan!”

Bayu menggelengkan kepala sambil mengibaskan tangannya sebagai penolakan. “Aku... aku nggak tahu apapun.”

Dewa berdecak. “Aku mendengar yang kalian bicarakan di dekat Musholla.” Dewa menatap Soni karena masih belum menyerah untuk meminta Araya pergi dari sini. Dia tidak ingin gadis itu mendengar apa yang Andi dan Bayu bicarakan. “Tolong, biarkan Araya kembali ke kelas dulu, Pak. Dia akan ketinggalan pelajaran. Bukankah sekolah ini berharap dia bisa mendapat nilai sempurna untuk ujian nasional nanti, setidaknya tertinggi se provinsi?”

“Kak Dewa!” Kini Araya yang memprotes lelaki itu. Dia tidak tahu kenapa Dewa seakan berusaha menutupi penyebab perkelahian ini. Hanya saja dia mulai geram dengan tindakan Dewa. Sekarang ataupun nanti, dia juga akan tahu alasannya. Jadi percuma saja. “Sudah lah!”

“Kamu nggak akan suka mendengarnya, Araya. Percaya padaku. Aku yakin kamu pasti akan menyesal karena nggak mau mendengar ucapan ku.”

“Kali ini kamu diam dulu, Dewa. Biarkan Bayu yang berbicara. Coba jelaskan Bayu. Apa yang terjadi sehingga Dewa dan Andi berkelahi?”

Bayu menatap Soni ragu-ragu. “Kami duduk dipojokan Musholla, Pak. Andi bercerita kalau Araya menolak cintanya lagi.”

Araya tersentak kaget. Tangannya menggaruk tengkuknya dengan gugup ketika tiga pasang mata orang dewasa menatap kearahnya. Tama, Soni dan Ibu Andi. Dia menundukkan kepala dengan malu ketika melihat kakaknya tersenyum tipis. Tama jelas sedang menggoda adiknya itu.

Jadi karena itu Dewa marah? Dia nggak mungkin cemburu kan?

“Cerita lah lengkap-lengkap dengan jujur kalau kamu ingin pulang ke rumah tanpa luka,” ucap Dewa mengancam Bayu. “Kalian juga merokok disana.”

Tied in Love [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang