Selalu aja mengakhiri percakapan dengan topik menggantung. Jadi curiga sebenarnya dia juga nggak paham masalahnya.
--BAGASKARA
Hidup di alam mimpi nggak perlu memikirkan tugas dan masalah hidup lainnya. Sejauh tinggal di negeri tanpa nama ini, gue cukup menikmati.
Bangun siang, jalan-jalan sebentar keliling padang rumput, sorenya main ayunan sama si Mawar di bawah pohon sambil nonton matahari tenggelam. Benaran, tontonan di sini cuma itu. Selebihnya gue bergelung di dalam rumah pohon. Menikmati ademnya udara.
Sebuah tempat tinggal yang mengingatkan gue pada serial animasi The Pooh. Beruang kuning yang pakai baju merah itu. Nah, gue ngalamin tinggal di dalam pohon gitu.
Jadi ternyata satu-satunya pohon besar di tengah padang rumput ini merupakan tempat tinggal Mawar. Dalam pohon ada ruangan lumayan luar. Kebayang kan ya itu pohon segede apa sampai bisa dijadikan rumah dua lantai. Gue dibolehin menempati lantai atas dekat daun-daun.
Kalau malam, sebelum tidur daripada bosan nggak ada hiburan games atau scrolling layar ponsel. Gue bakal duduk di jendela, nyambung-nyambungin bintang satu ke bintang lain membentuk gambar random. Seenggak ada kerjaan itu gue di sini. Terkadang sambil rebahan bayangin bisa bawa terbang Diyana ke atas awan naik karpet Aladin. Main ayunan di bawah bulan sabit. Lama-lama hidup tanpa teknologi gini melatih kekreatifan.
Diyana kalau ada di sini pasti bilang, "Ya bagus, biar otak kamu isinya nggak cewek mulu."
Apa aja gue bikin demi menghibur diri sendiri. Sampai kursi santai buat berjemur ditambah payung dari alang-alang kering, gue bikin. Bayangin aja hamparan luar alang-alang itu lautan biru.
Semua gue lakukan dengan senang hati. Walau setiap melakukan sesuatu, atau lari di pagi hari misalnya, Mawar bakal nyeletuk, "Aku sudah bilang akan sulit bertahan di dunia yang bukan tempatmu."
Sejak itu gue berhenti lari pagi. Dipikir-pikir, ngapain ya orang gue ada di alam lain. Olahraga cuma berpengaruh pada jiwa yang menghuni raganya, sedangkan gue cuma jiwa yang nyasar di semak-semak padang rumput.
"Ada apa?"
Mawar terhenyak karena tepukan di bahunya. Muka dia kayak habis ngelihat hantu. Melotot sambil menelan ludah. Ya ampun.
Ternyata di ambang pintu ada seseorang. Dibanding takut kayak Mawar, gue malah takjub entah datang dari mana orang ini. Bukannya cuma jiwa-jiwa pemegang warisan Keluarga Yata yang bisa masuk sini, ya? Oh, mungkin dia salah satunya. Kok agak ... berumur, nggak kayak gue dan Mawar gitu.
"Ibu aku," ujar Mawar seolah menjawab kebingungan gue saat menelitik wanita itu dari ujung kaki hingga atas. Pakaiannya hitam semua. Serem anjir.
"Ib--what?"
"Iya, saya ibunya Mawar," ujar wanita di depan gue dengan elegannya mengulurkan tangan. "Rasti."
Untuk seukuran seorang ibu, beliau terhitung lumayan santai loh. Padahal lagi ngadepin anak cowok yang nginep di rumah anak gadisnya. Gue deg-degan parah menyambut perkenalannya, sun tangan, "Bagas."
"Tante, jadi nama dia," Tunjuk gue ke gadis percis Diyana, "maksudnya anak Tante namanya betulan Mawar?"
"Saya juga baru tahu barusan waktu kamu manggil dia Mawar."
Speechless.
Mengharapkan hal normal di alam aneh ini berarti lo yang nggak normal.
***
Di suatu sore ketika menonton tenggelamnya matahari, Mawar cerita kalau suatu saat ibunya akan datang menjemput dia dari padang rumput ini. Jelasnya kapan Mawar juga tidak tahu. Namun, saat gue tanya memangnya mereka bakal kemana. Ke tempat yang lebih indah dari ini, kata Mawar. Gue cuma anggul-angguk sambil memancal kaki di tanah. Ayunan bergerak kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Break The Rules [End]
General FictionBagas dapat melihat masa depan setelah menerima kalung keramat pemberian Diyana. Ia sering mendapatkan mimpi-mimpi aneh. Terutama mengenai hal yang berhubungan dengan keselamatan sang kekasih. Berlomba dengan waktu Bagas harus bisa menghindarkan Diy...