Manusia bisa mengendalikan semua hal kecuali perasaan.
YCD
--BAGASKARA--
"Lepaskan kalung itu. Kembalikan pada pemiliknya."
Begitu enteng Om Dani ngomong. Enggak mikir dengan mengembalikan kalungnya Diyana berarti gue mau hubungan ini berakhir.
"Ini membahayakan. Nyawa kamu sedang terancam, Gas. Dia sengaja ngasih ini ke kamu? Memanfaatkan kamu sebagai tumbal? Om punya firasat enggak enak sama gadis yang kamu bawa ke rumah Eyang."
"Om!" Gue terduduk. "Jangan menuduh pacar aku kayak gitu. Om enggak tau apa-apa soal Diyana. Aku yang pertama kali ngambil kalung ini dari dia kok. Enggak pernah ada ceritanya dia maksa aku buat pakai ini."
"Dari mana kamu tau? Pemilik kalung ini bukan orang baik-baik. Om bisa merasakannya. Lepaskan, Gas. Sebelum semua terlambat."
Sebelum semua terlambat. Kalimat itu terus menghantui. Gue bahkan udah jahat tanpa alasan ke Diyana gara-gara kalimat Om Dani. Gue sengaja menghindari Diyana. Berhari-hari mendiamkan dia. Membiarkan ponsel mati, karena tau Diyana kapan saja bisa menghubungi.
"Om kamu benar, Gas." Tante Rumi datang membawa nambah berisi semangkuk bubur panas. "Dia terus menyerap energi kamu. Akhir-akhir ini kamu sering merasakan sakit?"
Gue mengangguk.
"Ini bahaya. Mungkin iya Diyana enggak tau soal kekuatan kalung itu, jadi dia memberinya ke kamu. Berarti kamu yang harus kasih tahu dia. Tante yakin kok Diyana anaknya baik banget, bakal bantu kami cari solusi."
"Tan, kalau tau aku sakit gara-gara kalung ini, Diyana akan mengambilnya."
"Itu bagus, kan? Kamu akan terbebas dari sakit," ujar Tante Rumi semeringah.
Gue dan Om Dani kompak menghela napas. "Masalahnya enggak sesederhana itu. Kalung ini membahayakan pemakainya. Aku pernah menyaksikan bagaimana Diyana sekarat waktu dia memakai kalung ini. Aku enggak mau mengulangnya, Tan."
Om Dani menyeletuk, "Di dunia ini perempuan bukan hanya Diyana. Kamu bisa mencari yang lebih baik. Yang tidak saling membahayakan."
"Kalau pun ada yang lebih baik. Bagas enggak akan bisa mencintainya seperti cinta Bagas ke Diyana, Om," kata gue bikin Om Dani mendengkus. "Aku enggak bisa pisah sama Diyana. Enggak ada alasan."
"Sekali pun kamu akan mati dan tidak ada masa depan jika kalian tetap bersama? Kamu enggak memikirkan bagaimana Diyana kalau kamu hilang? Apalagi tau penyebabnya dirinya sendiri? Cinta enggak harus memiliki. Cinta bukan arogansi seperti yang kamu lakukan sekarang."
Kepala gue diusap jemari lentik Tante Rumi. Perkataan yang terlalu jelas dan menyasar dari suaminya itu bikin gue kehilangan kata-kata.
Jadi, selama ini perasaan gue ke Diyana itu cuma arogansi? Egois? Hanya ingin memiliki?
Mendadak gue teringat pertama kali menemukan benda bercahaya di antara tumpukan reruntuhan bangunan supermarket beberapa tahun lalu. Setelah dua korban luka dilarikan ke rumah sakit terdekat. Gadis yang menjadi salah satu korban reruntuhan mendapatkan luka paling parah. Orang-orang berprasangka gadis malang itu tidak akan selamat setelah seorang dokter yang kebetulan ada di tempat kejadian memeriksa denyut nadinya lemah.
Gue mengambil benda bercahaya itu. Dalam pandangan pertama gue dibuat terpukau. Kalung berbandul mawar hitam bergaris perak berdebu itu seakan menghipnotis, menarik mata yang melihatnya semakin jauh ke sebuah tempat. Dimana seorang gadis tersenyum, berlarian di padang rumput penuh ilalang kecoklatan. Rambut gadis hitam legam berkilauan, disapu angin. Sekilas gue merasa familiar, entah kita pernah bertemu dimana. Gue enggak tahu siapa gadis yang muncul dalam benak. Tiba-tiba aja. Belum sempat memperhatikan lebih jauh ukiran mawarnya, teriakan Mama spontan bikin kalung itu terlempar.
Terpaksa gue pergi memenuhi panggilan Mama, beliau melarang dekat-dekat reruntuhan. Sepanjang jalan pulang gue enggak bisa berhenti memikirkan cahaya kalung di tengah reruntuhan juga senyuman gadis itu. Manusia bisa mengendalikan semua hal kecuali perasaan. Maka gue kembali, membawa kalung itu pulang.
Kalau bukan gue yang mengambil kalung itu, mungkin aja orang lain. Mungkin juga enggak pernah ada yang mengambil dan Diyana hilang.
Diy, aku harus gimana?
***
"Enggak tau. Aku juga bingung harus gimana, Gas." Di seberang telpon Diyana menghela napas lesu. "Aku heran, katanya Ayah punya kekuasaan, bisa melakukan apa aja, tapi giliran aku minta berita itu dicabut enggak bisa."
Gue masih mendengarkan. Berhari-hari enggak dengar suara dia, rindu juga.
"Orang-orang kayak gimana gitu di kampus. Aku lewat, mereka minggir semua. Aku noleh, mereka bisik-bisik. Serba canggung, mereka yang sering nyinyir tiba-tiba nyapa aku, ngasih tempat duduk. Aku kaget tau. Enggak suka. Mending kayak dulu."
Malah aku sama Argan beda kelas, beda jadwal juga. Aku enggak nyaman, apalagi Jopanra seminggu enggak masuk. Jadinya kemana-mana sendirian."
"Kenapa dia seminggu bolos?" tanya gue mencoba enggak terpengaruh saat nama laki-laki lain disebut dalam percakapan kami.
"Ibunya sakit. "
"Oh. Aku yakin kamu akan terbiasa, Diy. Siapa yang bilang waktu daftar kuliah mau dapat teman banyak?"
"Aku."
"Ini kesempatannya, Diy. Adaptasi itu gimana kita mengikuti lingkungan, bukan lingkungan mengikuti kamu. Bisa sih tapi ... jarang kayaknya."
"Buat aku mengikuti lingkungan itu susah, Gas. Iya deh, aku usahain. Tapi kalau ada oranh yang tiba-tiba datang karena tau aku siapa, aku cuma mau seperlunya aja sama dia."
"Iya ..., aku juga bakal melakukan hal yang sama."
Gue seneng Diyana mau terbuka sama lingkungan. Dia susah banget buat punya teman. Setiap punya teman pasti tersisihkan, dimanfaatkan. Gue harap sekarang enggak gitu lagi.
"Perasaan aku enggak enak terus, Gas. Kamu baik-baik aja di sana? Sehat, kan?"
Seketika percakapan di rumah Om Dani terngiang lagi. Apa Diyana merasakan kegelisahan gue ya?
"Baik kok."
"Jaga kesehatan ya, Gas. Kurang-kurangin bergadangnya, jauhin makanan enggak sehat, minum vitamin. Hm ..., tapi aku ngerasa--"
"Kenapa?"
"Enggak tau." Diyana tertawa. Gue ikut tertawa. Tawanya nular nih cewek.
"Diy, sebenarnya aku mau ngomong sesuatu. Udah dari lama sih, belum nemu waktu yang tepat aja."
"Iya ...? Kamu mau ngomong apa tumben pake kata pengantar kayak gitu."
"Aku serius ini ...."
Tawa renyah Diyana terdengar lagi Gue manfaatkan dengan mengambil napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. "Ini tentang kalung kamu--"
Di belakang Diyana sayup-sayup terdengar seseorang memanggil. Diyana menjawab seruan orang itu, "Iya, kenapa? Hah? Mereka udah sampai? Cepet banget, naik apaan sih?"
Enggak lama Diyana kembali. "Gas, maaf tadi orang rumah manggil. Aku diajak Ayah ke acara makan malam rekan bisnisnya. Orang yang mau nge-make over aku udah datang, padahal tadi bilang satu jam lagi nyampenya. Hng ..., tadi kamu ngomong apa?"
Gue yang udah deg-degan berakhir menghela napas. "Enggak apa-apa. nanti aja dilanjut."
"Beneran? Jangan ngambek. Aku masih mau denger kamu kok."
"Iya, Diyana. Siapa yang ngambek. Udah, sana. Have fun ya, Diy. See you. Aku tutup duluan."
Lagi-lagi gue enggak punya keberanian. Sedangkan waktu terus berjalan. Besok adalah kebutaan terhadap apa yang akan terjadi. Cepat atau lambat sesuatu yang buruk akan terjadi. Gue cuma berharap ketika hari menyakitkan itu datang, Diyana enggak merasakan sakit.
__YCD__
[Makasii buat dukungannya ☺️]
KAMU SEDANG MEMBACA
Break The Rules [End]
General FictionBagas dapat melihat masa depan setelah menerima kalung keramat pemberian Diyana. Ia sering mendapatkan mimpi-mimpi aneh. Terutama mengenai hal yang berhubungan dengan keselamatan sang kekasih. Berlomba dengan waktu Bagas harus bisa menghindarkan Diy...