35. Sesal

60 13 0
                                    

Jika harus memilih sahabat atau pacar, pilihanku akan jatuh pada seseorang yang bisa menemaniku selamanya.

--DIYANATA--

Argan menekan tombol moonroof. Atap di atas kepalaku perlahan berlipat ke arah dalam. Seketika angin kencang merangsek memenuhi dalam mobil. Aku menaiki kursi, melongokan kepala ke atas atap. Saat angin berkecepatan tinggi menyerang, hanya teriakan yang bisa mengimbanginya. Ini menyenangkan.

Di kursi depan, Argan dan Deren ikut tertawa.

"Udah, Diy. Turun .... Para spy bisa kesel mereka udah kecolongan satu anak," ujar Argan kemudian ditertawakan Deren.

"Aku enggak nyangka bisa keluar rumah. Deren, makasih. Ini berkat bantuan kamu."

Aku sudah kembali duduk. Sedikit maju untuk memberi tepukan di bahu adikku.

"Bukan apa-apa, Kak," balas Deren santai.

"Kalau kamu dihukum gara-gara membantu aku keluar rumah, gimana?"

"Hukuman enggak akan pernah Deren dapatkan. Kan ada penjaga. Udah tugas mereka menanggung setiap kesalahan anak Hadinata."

Kulihat Argan mencengkeram stir kemudi. Perkataan Deren memang kasar. Ia terdengar merendahkan para penjaga. Bukan hal aneh sebenarnya. Aku pernah melihat Deren memarahi penjaganya sambil melayangkan pukulan.

Penjaganya diam saja. Meski wajahnya kacau babak belur, dia terus berdiri menggantikan samsak. Entah apa yang membuatnya bertahan di sisi Deren.

"Kamu ... punya penjaga yang baik, Der," kataku hanya bisa tersenyum kecil.

Agak enggak enak sama Argan. Takut dia tersinggung.

"Maafin perkataan adikku ya, Gan?" bisikku.

Macetnya jalanan membuat kami melewatkan acara kejutan. Mereka masih ada di dalam kafe sedang makan-makan.

Argan menunduk membalas tatapku. "Kenapa minta maaf segala?"

"Enggak apa-apa. Aku takut kamu tersinggung. Kayaknya kamu kesel, aku lihat tadi."

Kami berjalan bersisian. Usai memberi tumpangan padaku dan Argan, Deren pergi. Dia benaran mau ketemuan sama pacar.

Argan berdecak. "Kesel sih, tapi enggak usah minta maaf segala. Udah biasa bagi kami."

Kata "kami" yang Argan bilang kayak memperjelas kalau aku dan dia statusnya bagaimana. Aku sedih sih.

"Tapi buat aku kamu enggak gitu. Penjaga adalah teman. Kamu temanku."

Argan mengusak pucuk rambutku. Ia menghela napas. "Iya, gue tahu. Lo enggak kayak gitu."

Seruan dari salah satu sudut kafe membuat kami menoleh. Di sana teman-teman melambaikan tangan.

Senang sekali bisa bertemu wajah-wajah itu. Mereka tidak berubah, selain Jopanra yang seperti menghindari tatapku. Sang raja yang kami rayakan memberi gestur tak nyaman ada aku di sana. Dia memperjelas itu dengan berdiri. Tangannya meraih jaket dan tas.

"Gue duluan, ada urusan," ujarnya dingin.

Begitu saja dia melenggang pergi tanpa memberi penjelasan ada urusan apa dia. Jopanra mengabaikan seruan teman-temannya. Bahkan kue ulang tahun belum sempat dibagi-bagi karena menunggu kedatangan aku dan Argan. Mereka tahu potongan pertama akan diberikan pada siapa. Aku.

Walau aku enggak berharap lebih.

Namun di sini yang paling dekat dengannya adalah Diyana. Sontak aku berdiri. Sebelum langkah ini resmi mengejar kepergian Jopanra, tanganku dicekal.

Break The Rules [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang