19. Saling Jujur

82 14 19
                                    


Sakitku ludes dibakar cemburu. Kini hanya tersisa linu.

--to someone out there
YCD

--DIYANATA--

Demi nyawa seseorang, aku memecahkan ketegangan. Piring di meja sengaja aku senggol biar perhatian semua orang tertuju hanya padaku, bukan pada Bagas (yang menyamar sebagai maid pria).

Seperti perkiraan, mereka langsung menoleh ke arahku, ke arah suara pecahnya piring di lantai. Ayah tersentak sambil meneriakan namaku, Bu Lili melarang aku memungut pecahan kaca, para maid datang membawa alat pembersih, dan tentu saja anak ayah yang lain memutar bola matanya jengah. Lebay! Kata itu tertutur dari mulut Kak Digta tanpa suara. Bang Draska langsung bangkit dari kursi, meninggalkan sarapannya yang baru habis setengah. Tampaknya kakak pertamaku ngantor hari ini. Sedangkan Kak Drea tak acuh, melanjutkan sarapan di tengah keributan.

Aku berdiri di sisi meja. Terbengong-bengong menyaksikan para maid membersihkan pecahan piring. Yolan memegang lenganku. Seolah aku akan tumbang seperti waktu itu. Hah! Ternyata aku betulan dianggap lemah sama semua orang. Tapi, biarlah mereka berpikiran begitu. Yang penting Bagas berhasil keluar rumah ini.

"Diy, kamu pucet. Ngampus hari ini? Bu Lili panggil Nadia, minta dia periksa Diyana."

Ayah juga beranggapan aku sakit. Pucat dari mananya? Mungkin pucat karena deg-degan hampir ketahuan aku memasukan seorang lelaki ke dalam rumah.

"E-enggak kok, Yah. Diy sehat. Sehat banget!" kataku meyakinkan.

Semoga saja senyumanku tidak terlalu lebar sehingga mengundang kecurigaan Ayah.

Butuh waktu untuk menyakinkan Ayah kalau aku baik-baik saja. Ayah mengizinkan aku pergi ke kampus setelah sebuah panggilan telpon mengambil atensinya. Sayup-sayup Ayah membicarakan projek, saham naik, dan itu membuat senyumnya merekah. Cuma soal bisnis, Ayah bahagia.

Aku keluar rumah lepas mengganti baju. Akibat misi penyelamatan Bagas, bajuku ketumpahan makanan.

Mobil yang dikendarai Argan terparkir di depan rumah. Aku meminta Mang Iwan libur mengantar aku ke kampus sehari saja. Semua serba mendadak dan deg-degan pagi ini. Beruntung Mang Iwan tidak banyak bertanya mengapa tiba-tiba Argan mau menggantikannya mengantar aku ke kampus.

Di dalam mobil aku duduk di kursi belakang. Diam sampai melewati gerbang. Jauh dari jangkauan para penjaga rumah. Jauh dari kecurigaan bahwa selain aku dan Argan ada orang lain. Barulah tumpukan kain hitam di dekatku bergerak.

Bagas muncul dari tumpukan kain itu disertai embusan napas panjang. Sembari menyingkap kain, Bagas terkekeh. Mungkin baginya tadi hal lucu.

"Kamu nggak apa-apa?" tanyaku.

Gurat senang dan lega tercermin dari binar matanya. Yang aku suka setiap tawa Bagas adalah dia menularkan tawanya.

Aku merasa diberi kesempatan. Entah mengapa, kali ini aku sulit menahan perasaan. Pada Bagas akhirnya aku menceritakan apa saja yang mengganggu akhir-akhir ini. Terutama tentang kedekatannya dengan Tiara. Bagas mengakui bahwa dia satu kampus dengan gebetan cantiknya itu. Bagas juga bilang maaf di belakangku mereka sering jalan. Dalam bayanganku mereka jalan bareng seperti sepasang kekasih. Menyesakkan memang. Mengingat foto-foto mereka yang jafi bahan bahasan di grup seangkatan. Tapi, aku tidak mampu berkata-kata. Sakitku ludes dibakar cemburu. Kini hanya tersisa linu.

Waktu aku bilang iri sama apa yang Tiara punya sedangkan aku enggak, Bagas bilangnya, "Kamu salah. Tiara enggak punya semuanya. Tiara enggak punya hati aku. Karena pemiliknya cuma kamu."

Break The Rules [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang