22. Rahasia

89 16 38
                                    

Setiap hal magis ada efek samping ke tubuh si pemakai.

--to someone out there
YCD

--BAGASKARA--

Embusan napas terasa lebih berat ketika melepas Diyana. Gadis yang tinggi badannya stuck di angka 155 sejak awal kita jadian, melambaikan tangan di balik kaca belakang mobil. Bikin hati semakin enggak rela sama perpisahan ini.

Habis merayakan anniversary biasanya Diyana pulang, gue juga pulang, kita beda arah. No banyak melow, terus besok paginya kita saling menyapa di telepon, ceria kembali. Entahlah, kali ini gue maunya lebih lama lagi bersama Diyana. Mendengar suaranya, menggenggam tangannya, menyelipkan helaian rambut nakal dari wajahnya, memperhatikan dia ketika memakan es krim.

Kok tiba-tiba organ di balik rongga dada ini linu ya? Seakan setelah ini semua yang gue sebutkan barusan enggak akan hadir lagi.

Lengkingan klakson di belakang menyadarkan bahwa diam di situ sudah terlalu lama. Petugas di pembayaran parkir ikutan jengkel menanti. Segera gue membayar biaya parkir dan keluar halaman mal. Sesak banget rasanya. Enggak sembuh pakai latihan inhale-exhale. Gue bingung, kok bisa diserang perasaan aneh begini. Apa sesuatu yang buruk bakal terjadi sama Diyana? Kalau diingat-ingat, beberapa hari ini dalam tidur enggak ada mimpi menakutkan. Bukankah itu tandanya Diyana baik-baik aja? Atau kalung ajaib keluarga Diyana udah kehilangan magisnya jadi sinyal bahayanya melemah? Gue harus konsultasi ke siapa dong?

Sepanjang jalan pikiran gue terus tertuju pada Diyana. Gue meyakinkan diri sendiri, ini hanya akibat terbawa suasana perpisahan. Diyana enggak akan kemana-mana, begitu pun gue yang udah berjanji enggak akan kemana-mana (hatinya).

Gelapnya malam semakin pekat. Sedikit lagi sampai di Jakarta. Kota hingar-bingar yang merenggut setengah perhatian gue dari Diyana. Mungkin hanya perasaan aja atau benar ada yang mengikuti. Silau di kaca spion sebelah kanan memantulkan sorot lampu sebuah kendaraan di belakang. Lalu tidak lama mobil dengan kecepatan tinggi menyalip. Otomatis gue agak menyingkir, menghindari sesuatu seperti tabrakan atau keserempet. Luput dari perkiraan, mobil yang melaju kencang itu berhenti tiba-tiba. Posisinya diserongkan menghalangi jalanan. Sontak gue menarik rem dalam-dalam hingga decitan ban bergesekan dengan aspal terdengar. Ban belakang motor juga sedikit terangkat. Sedrama itu situasinya.

Ritme jantung sampai mirip deburan ombak. Dua mobil menyusul berhenti di belakang. Gue menoleh dan mendapatkan silau. Enggak butuh waktu lama, gue mengerti ini konspirasi pengepungan.

Bertahan di atas motor meski kaki gemetaran menjadi pilihan terbaik. Gue bisa tancap gas kapan saja jika mereka menyerang. Karena sepertinya malam ini gue kena begal. Apes deh ah!

Pintu mobil di depan terbuka. Dua laki-laki muncul dari dalam sana. Yang berjalan sambil menyalakan pemantik dan menyulut rokok di sela bibir agak familiar. Angkuh bener gayanya.

Dia mengembuskan napas asap. Semakin dekat, semakin jelas juga muka orang itu. Gue kenal dia lewat cerita Diyana. Orang yang kerjaannya galak-galak ke pacar gue.

"Pacarnya Diyana?" tanyanya to the point.

Lihat aslinya, dia keren juga.

Gue membuka helm. Ya ... biar sopan aja gitu di depan calon kakak ipar.

"Iya," jawab gue. "Ada apa ya, Bang?"

"Gue Digta, kakaknya Diyana. Sebenarnya enggak ada masalah, tapi kalau lo mikir ini ada hubungannya sama Diyana. Iya, ini ada hubungannya. Gue bukan mau ngospek pacar adik gue. Diyana boleh pacaran sama siapa aja. Enggak ada ospek-ospekan. Terlalu sibuk gue ngurusin gituan. Gue cuma mau memastikan satu hal dan lo harus jawab jujur."

Break The Rules [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang