20. Kebohongan Satu Semester

103 19 62
                                    


Kebiasaannya dari dulu ribet memikirkan hal kecil dan nggak penting.

--to someone out there
YCD

--BAGASKARA--

Belum pernah ya gue bilang kalau Diyana punya tahi lalat kecil di bawah alisnya? Yang tiap kita bertatapan, secara otomatis gue natap tahi lalatnya juga. Bukan salah fokus. Bukan. Lebih kepada kagum sama pemanis yang Tuhan ciptakan pada setiap manusia. Membuat gue bisa langsung mengenali itu Diyana kalau misalkan dia pakai masker atau cadar sekalipun.

Dia menarik mukanya duluan dengan cara menunduk. Gue hanya bisa diam dengan rasa kehilangan.

"Maaf, Gas," lirihnya seolah merujuk pada sesal karena nggak bisa mewujudkan keinginan gue dari dulu.

Iya, dari dulu. Keinginan sederhana. Tapi, dari awal gue enggak berharap lebih. Karena sekali lagi gue tekankan: enggak bisa memaksa Diyana.

"Kamu mau es krim di minimart atau jajan cilok? Kayaknya cuankin enak ya siang-siang gini." Gue mengalihkan suasana. Pura-pura mengetikkan pesan pada Argan. Sedangkan Diyana masih bersama gugup yang membuatnya tanpa sadar menyelupaskan kulit ibu jari. Matanya kosong. "Diy? You oke?"

"Ha?" Diyana menoleh.

Kebiasaannya dari dulu ribet memikirkan hal kecil dan nggak penting. Gue menghela napas, meraih tangannya, dan bilang, "Jangan merasa terbebani sama apapun, Diy. Lagi mikirin apa, sih? Sampe anteng sendiri?"

Kalau dibiarkan, Diyana bisa melukai diri sendiri. Kulit ibu jarinya bakal berdarah dan gue pernah melihat itu. Ngeri.

Dalam beberapa sekon, Diyana terheran. Dari kerjapan bulu matanya yang lentik alami, bisa diketahui bahwa dia baru sadar sama apa yang dia lakukan. Its ok, semoga dia nggak mengulangi kebiasaan buruk itu. Apalagi ketika gue enggak ada di sisinya.

"Aku enggak apa-apa," lirih Diyana.

Sumpah ya, gue bosen dengar alasan, "Nggak kerasa sakit kok, tapi lama-lama perih sih, dikit. Enggak apa-apa. Aku enggak apa-apa. Nanti bakal sembuh sendiri."

Mending kalau Diyana memenuhi janjinya untuk sembuh sendiri. Sekarang aja dia masih kepergok. Sebagai pacar, tentunya gue bingung. Sekaligus merasa gagal. Bukankah ini artinya keberadaan gue di sisinya belum cukup menjadi obat penyembuh? Diyana. Gue enggak tahu apa yang ada di benaknya sekarang.

"Siapa?"

Diyana cuma melirik layar ponsel yang menyala. Dia cepat-cepat menyimpan benda persegi itu ke dalam tas. Kelakuannya tambah mencurigakan saat bicaranya mendadak gagap.

"Bu-bukan siapa-siapa."

"Kenapa enggak diangkat?" Gue enggak nyerah. "Mana coba lihat."

"Bukan siapa-siapa, Gas."

Tuh, kan! Di balik pengelakan seorang cewek sering ada apa-apa. Gue berhasil meraih ponsel Diyana. Di saat bersamaan benda itu bergetar lagi, layarnya menampilkan nama seseorang. Yang bikin dada gue hampir meletus, orang itu Jopanra. Dia nelpon pacar gue!

"Kayaknya dia mau ngomongin hal penting, tuh!" ujar gue mengembalikan ponsel Diyana ke pangkuannya.

Diyana bergeming. Mungkin bingung, mau membela diri bagaimana lagi. Udah ketahuan bohongnya.

Break The Rules [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang