34. Terenggut

58 15 0
                                    

Ini terasa sureal. Kamu pergi tanpa membiarkan aku ikut.

--BAGASKARA--

"Udah gue bilang jangan bawa Diyana keluar hari ini. Hari ini aja. Lo harus denger apa kata gue, Gan. Ini demi kebaikan Diyana. Bawa dia balik lagi--halo? H-halo? Argan! Arghhhh!"

Kesel. Panggilan diakhiri sepihak. Anak itu tidak mau mendengarkan perkataan gue sejak semalam. Dia menganggap semuanya cuma candaan. Parahnya baru saja dia mengabari kalau mereka sedang dalam perjalanan menghadiri kejutan ulang tahun Jopanra.

Kan udah gue bilang jangan sampai Diyana keluar rumah. Tetep aja.

Argan malah alasannya, "Orang Diyana yang mau ikut."

Penjaga apaan dia? Menolak permintaan majikan demi kebaikan aja enggak becus!

Kalau bukan semalam didatangi mimpi buruk, gue juga enggak akan bawel gini. Sekarang pikiran gue kacau parah. Malah antrian kendaraan di SPBU panjang banget. Mendadak motor yang sering dipakai habis bensin di perjalanan menuju Bandung. Gimana pun caranya gue harus cepat-cepat sampai Bandung menemui Diyana. Semoga enggak terlambat menyelamatkan dia. Sumpah, mimpinya serem.

Argan masih bisa dimaklumi menganggap lelucon karena dia enggak tahu mengenai kemampuan gue bisa melihat apa yang akan terjadi, tapi Diyana tahu. Diyana harusnya ngerti .... Ini kelakuanya kayak sengaja nyamperin bencana. Mau nyari apa sih dia bikin gue khawatir terus?

Terlebih Jopanra lagi Jopanra lagi alasannya.

Diyana enggak aktif beberapa hari ini. Jadi gue tahunya dari Argan. Penjaga Diyana yang ngeselin itu bilang Pak Hadi lagi ngurung Diyana sebelum berangkat ke luar negeri. Ternyata Diyana dan keluarga mau pindah ke luar negeri, dan dia sama sekali enggak cerita sama pacarnya.

Apa ini yang bikin Diyana maksa gue balikin kalungnya? Karena dia mau pergi jauh? Sempat terpikir begitu. Padahal meski kita bukan lagi menjalani kisah hubungan jarak jauh puluhan kilometer doang, melainkan ribuan kilo meter. Gue siap.

Gue bakal nunggu dia sampai pulang. Berapa lama pun itu. Asal jangan paksa hubungan ini berakhir.

Yang bikin enggak habis pikir adalah Diyana mau ikut pindah kalau bapaknya membantu biaya operasi ibunya Jopanra.

Kan aneh.

Rasa-rasanya kayak Diyana lebih sayang laki-laki lain daripada pacar sendiri. Bukan melarang Diyana berbuat baik. Gue cemburu aja Diyana begitu mudah mengorbankan diri demi orang lain di saat kita masih pacaran. Kenapa demi Jopanra? Kenapa bukan gue gitu?

Setelahnya Argan menolak semua panggilan. Mungkin lebih dari seperempat jam, gue berhasil mengisi bahan bakar. Saat memeriksa ponsel, ada notifikasi pesan masuk. Argan membagikan sebuah lokasi. Langsung saja gue tancap gas. Melaju dengan kecepatan tinggi.

Jangan sampai terlambat menyelamatkan Diyana.

***

Lokasi yang Argan bagikan adalah sebuah kafe dekat kampus. Tempat makan sederhana yang ramai. Gue sampai sana tiga kali lebih cepat dari biasanya. Begitu selesai memarkirkan kendaraan, secepat mungkin gue lari ke dalam kafe dengan harapan Diyana ada di sana. Duduk di antara para pengunjung. Namun saat pandang ini mengedar, gadis mungil berambut hitam sepunggung enggak terlihat.

Hanya ada sekumpulan anak muda yang salah satunya gue kenal. Gue hampiri meja paling ramai oleh tawa itu.

Derai tawa mereka perlahan reda. Argan tersentak melihat gue berdiri di depannya.

"Bagas? Lo di sini?" Dia berdiri.

"Mana Diyana?" tanya gue sambil sekilas melihat wajah-wajah di sana. Mereka pernah gue lihat di foto yang Diyana kirim.

"Diyana? Oh, Diy barusan ngejar si Jopanra yang ngambek. Lo bela-belain ke sini karena Diyana keluar rumah, Gas. E-eh ...?"

Gue cengkeram kerah bajunya menimbulkan reaksi orang-orang di sana. "Udah gue bilang jangan biarin Diyana pergi."

Argan kentara kagetnya. Bola matanya melebar. Gue baru melepas kerah bajunya begitu dia tergagap bilang, "Lo bi-bisa telepon gue. Diyana yang bawa."

Enggak menunggu lama gue lari keluar kafe sambil terus menghubungi ponsel Argan yang dibawa Diyana.

Nada tunggu terus menggema. Menambahkan ketegangan. Satu, dua, tiga panggilan tidak bersambut.

"Halo?" Sebuah suara menyapa diselingi bising kendaraan dan langkah kaki.

Akhirnya yang sangat dirindukan terdengar. Banyak syukur ditujukan pada Yang Maha Kuasa. Berkatnya gue masih mendengar suara Diyana.

"Halo, Diy? Kamu dimana?" tanya gue memburu.

"Bagas? Ini kamu?" Suaranya kayak orang lagi buru-buru.

"Iya, Diy. Ini aku. Diy, kamu dimana? Aku cari-cari kamu."

"Aku ... lagi di luar, Gas. Jopan ulang tahun. Ternyata dia udah tahu tentang biaya operasi ibunya itu dan sekarang marah. Maaf ya, Gas. Aku harus tutup telepon ini. Aku harus ngejar dia, jelasin semuanya."

"Diy, tunggu!" cegah gue. Jangan sampai Diyana memutus panggilan. "Sekarang kamu dimana? Aku ke sana ya? Kamu boleh ngejar Jopanra asal sama aku."

"Gas, Jopanra makin jauh. Aku enggak punya banyak waktu."

Gue menggeleng. Jangan bilang gitu!

"Enggak, Diy. Aku nyusul kamu. Aku lagi di Bandung. Sekarang dimana pun itu, tolong berhenti. Kamu diam di sana sampai aku menemukan kamu. Kita ketemu, ya? Aku mohon, Diy."

Hanya deru kendaraan yang terdengar. Gue harap-harap cemas sambil berlari.

"Maafin aku, Gas. Lagi-lagi bikin kamu ketakutan. Aku membebani banyak orang. Kamu harusnya dapetin yang lebih baik dari aku."

Diyana semakin aneh bicaranya. Membikin perasaan berantakan.

"Enggak, enggak, Diy. Aku cuma butuh kamu," mohon gue tepat menemukan Diyana di ujung jalan itu. "Tunggu aku, Diy."

Seketika kaki gue kehilangan daya. Lega yang datang akibat menemukan Diyana dicabut paksa. Kendaraan beroda empat melaju kencang mendahului langkah kaki gue.

Kejadiannya begitu cepat. Mobil itu menghantam gadis yang berdiri di pinggir jalan. Napas gue tertahan menyaksikan Diyana melayang, rambut hitamnya berterbangan bagai sayap-sayap patah. Hanya sepersekian detik tubuh mungil itu bergulingan di atas aspal.

"Diyana!" Gue bahkan enggak tahu seberapa keras suara sendiri sampai orang-orang menoleh terkejut.

Gue berusaha lari dengan cepat, tapi rasanya jarak menjauh. Gejolak dalam dada meningkat. Tak kuasa gue menghadapi Diyana yang tergeletak di sana. Sedangkan mobil itupergi begitu saja.

Diyana bergeming namanya dipanggil-panggil. Teriakan gue hanya berakhir di udara, tak menjadi apa-apa. Jalanan mendadak merah digenangi darah. Diyanaku terpejam.

Ini terasa sureal.

_YCD_

😔

Break The Rules [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang