16. Yang Patah

98 19 40
                                    

Hati yang terlanjur patah bakal parah kalau ditambah kenyataan pahit lagi.

--to someone out there
YCD


--BAGASKARA--

Terekam jelas dalam benak bagaimana muka sendu Diyana mendongak berusaha tegar, sorot lelahnya dalam satu kedipan bisa membuat air matanya meluncur, juga perkataan nggak masuk di akal soal "putus" begitu enteng keluar dari mulut dia. Ini bukan Diyana sekali.

What's the hell! Seketika terdengar umpatan  menggema di dalam hati. Antara nggak mau hubungan ini kandas begitu saja dan nggak rela jadi pihak yang diputusin.

Meski gue nggak menangkap maksud Diyana needs break out ya. Sebagai cowoknya gue menyimpulkan sendiri, dia ingin hubungan kita berakhir sampai di sini.

Gimana enggak? Butuh waktu sendiri-sendiri adalah kata lain dari break, yang setahu gue--dari pengalaman orang--break ujung-ujungnya pasti putus. Waktu gue tanya memangnya dia mau kita putus, jawaban dia malah geleng-geleng, nggak jelas banget. Dirinya aja belum yakin siap lepas dari gue, tapi minta udahan. Ini yang gue nggak suka dari cewek. Nggak Mama, nggak Tiara, nggak Diyana. Cewek sama aja, bisanya mengancam dan nangis.

"Terus mau kamu gimana? Aku harus ngelakuin apa supaya dimaafkan kamu?" tanya gue sungguh-sungguh meminta kejelasan. Soalnya kalau Diyana udah berani bilang gitu berarti hatinya patah serius.

Gue sih bisa terima kalau dia mau cerita tentang apa yang mengusiknya. Masa cuma gara-gara lupa tanggal jadian langsung minta putus? Benaran nggak masuk akal. Ya ..., maksudnya, sebelum-sebelum ini juga gue pernah lupa tanggal jadian dan Diyana juga pernah melupakan itu. Hubungan kita baik-baik aja. Nah, sekarang pasti ada sesuatu yang bikin kesalahan gue berlapis di mata Diyana.

"Udahan, dong, nangisnya. Nanti sesak kamu kambuh."

Kedengaran perhatian, ya? Hm, pacar kayak gue mah langka. Makanya nggak pantas diputusin tanpa alasan.

"Aku nggak mau putus sama kamu. T-tapi ... tapi, aku capek sama hubungan ini," katanya sambil sesegukan. Napasnya mulai terdengar memberat. Kalau dibiarkan lebih lama lagi, yakin deh, penyakitnya bakal kambuh. Gue juga yang bakal riweuh.

Sebelum dia semakin kesusahan bernapas, kedua lengannya gue usap lembut. Perlahan membawa tubuh mungilnya ke dalam pelukan. Menepuk-nepuk pelan punggung Diyana siapa tahu dengan begitu tangisnya berhenti.

Tangisan Diyana redam di balik jaket yang gue pakai. Lagi sedih banget dia. Mendengar cewek nangis, hati ini suka ikutan sedih. Soal menyayangi sesuatu jangan pernah dijadikan candaan. Apalagi menyayangi seseorang. Dan sayangnya gue ke Diyana itu serius. Meski makhluk cantik berdatangan, sejauh ini belum ada yang mampu menggeser tempat Diyana. Dia tuh pem-booking tetap sudut hati gue dengan jangka waktu sebebasnya, seenaknya. Aneh, gue menyukai cara dia memonopoli diam-diam.

"Aku sayang kamu, Diy," ucap gue refleks. Baru sadar itu kata-kata tergeli selama kami pacaran.

Waktu nembak Diyana mana ada kata-kata mengandung cinta atau sayang. Gue cuma nanya dia mau nggak jadi pacarnya Bagas Rasydhi. Diyana jawab iya. Ya, udah, kita pacaran sampai sekarang.

Terkadang gue mikir, apa yang membuat Diyana bertahan dengan orang to the point like me. Diyana tipe cewek nggak banyak nuntut, cocok sama gue nggak mau dituntut harus jadi pacar yang a, i, u, e, o. Diyana cenderung cuek sehingga gue bebas melakukan apa aja, dekat sama siapa aja. Bersama Diyana, gue merasakan punya pacar sekaligus sahabat cewek. Mungkin itu yang membuat kami bertahan. Intinya gue nyaman bareng-bareng Diyana. Apa dia merasakan hal sama atau enggak? I don't know.

Break The Rules [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang