23

433 44 39
                                    

Sorry for typo and happy reading^^

.

.

.

Disana, tanpa banyak pasang mata sadari ada tiga orang pria mengenakan pakaian serba hitam. Di dalam gang sempit itu, rasa dingin menjalar namun tidak ada yang merasakan hal itu sama sekali.

"Lalu bagaimana?" Salah satu dari mereka membuka suara begitu dua sosok lain terdiam sedari tadi. Ya, sosok yang memiliki paras dingin mematikan.

"Aku sudah sering mendapatkan peringatan dari mereka. Rasanya aku ingin segera menghabisi mereka." Keluhnya, yang justru dijawab kekehan pelan.

"Kau tahu? Gadis itu sepertinya tengah berusaha menyelamatkan jiwa temannya. Aku tidak bisa tinggal diam."

"Aku sudah mengetahui itu, bukankah niatnya begitu mulia?"

Decihan lirih terdengar. Sorot mata elang tersebut seperti siap untuk menikam siapapun, terkecuali kedua temannya yang seakan sudah terbiasa.

"Mulia? Lebih tepatnya gadis itu sudah mengorbankan dirinya sendiri karena hal konyol!"

"Di aula *Orsan, para bangsa iblis sibuk membicarakan gadis itu—"

"Namanya Irene."

"Ya, ya, ya siapapun namanya aku tidak peduli!" Umpatnya kesal.

"Lanjutkan ceritamu!"

"Salah satu dari mereka mengincar kehidupan Irene. Aku tidak tahu mengetahui alasannya, kurasa karena kelebihan yang membuat para iblis dan malaikat berseteru, saling melempar pendapat tentang gadis itu."

"Aku sudah mengatakan pada Irene untuk berhati-hati, tetapi dia tidak percaya dengan peringatanku."

"Tidak ada cara lain, gadis itu.... Harus menyelesaikannya seorang diri!"

.

.

.

"Aduhh... Pelajaran hari ini bikin mumet!" Irene memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri. Memang hari Senin adalah hari yang sangat Irene benci. Apalagi tadi guru fisikanya mengeluarkan ultimatum yang hampir saja membuat satu kelas pingsan.

Ulangan harian dadakan!

Irene yang sama sekali tidak belajar apapun hanya bisa pasrah melihat sederet soal dengan angka yang berbaris rapih menyakitkan mata serta otaknya. IPA dan Matematika adalah musuh terbesarnya.

"Hai mata cantik!"

Irene hampir saja terjungkal jika sosok itu tidak dengan sigap membantu menopang tubuh mungilnya. Setelah berdiri normal, Irene memincingkan matanya galak.

"Sehan!! Ish! Gak usah kagetin juga kali!" Kesal Irene seraya berkacak pinggang. Dan tentu saja si pelaku malah terkekeh. Untung jalanan tidak terlalu ramai jadi kemungkinan, sedikit yang memperhatikan Irene.

"Mau pulang?" Tanya Sehan dijawab anggukan tipis Irene. Mereka berjalan beriringan, tidak lebih tepatnya Sehan sedikit melayang tentu saja.

"Biasanya dijemput kakak kamu."

"Hari ini Abang Chandra nemenin Kak Shirene belanja ke supermarket."

Sehan hanya ber-oh ria diselingi anggukan.

Tiba-tiba saja Irene menghentikan langkahnya. Netranya menatap objek di seberang sana. Terlihat seorang anak kecil yang Irene tebak berumur 8 tahun tengah terdiam di depan sebuah toko mainan.

"Mata cantik, kamu kenapa?"

"Coba kamu lihat anak kecil disana," tatapan Sehan mengikuti arah telunjuk Irene, "Aku sering banget lihat anak kecil itu, tapi gak ada satupun yang perhatiin dia."

Time For The Moon Night : Love And SinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang