.
.
.
Happy reading :)
~~~
Aku memasuki daerah penuh manusia berwarna putih dan abu-abu. Lalu lalang sambil tertawa dan saling sapa. Tempat dimana masa terindah berdiri.
Sekolah bukan hanya tempat belajar bagiku, tapi juga dunia lain tempat ku lari dari semua keresahan yang menyerangku bertubi-tubi saat di rumah.
Sejak langkah pertama meninggalkan pintu rumah yang terkunci, aku harus selalu mengenakan topengku. Melemparkan senyum kepada siapapun, bahkan kepada ayam menyebalkan yang menyeberang jalan sembarangan dan memaksaku untuk me-rem mendadak motorku.
Seisi alam raya tak boleh melihatku bersedih. Ia hanya akan melihatku sebagai orang paling ceria di bumi. Saat berangkat, sebenarnya, aku tak benar-benar memiliki niat yang murni untuk mencari ilmu, tetapi, karena disana ada keluargaku yang kedua, seorang teman. Meskipun, yang benar-benar teman, emm, maksudku yang mau menemaniku dikala susah maupun senang hanya satu dua orang.
Tapi, bukankah itu memang sebuah keniscayaan? Aku rasa, memang tidak ada salahnya kalau mereka datang hanya saat butuh. Yah, karena aku pun kadang juga seperti itu. Aku pikir, bukan mereka yang salah, tapi mungkin aku yang selalu berekspektasi terlalu berlebihan. Kan, mereka juga punya dunianya sendiri. Bukan melulu tentang, aku.
"Eh, lu masih hidup ternyata?" Sambar seorang gadis berberapa detik setelah aku memasuki ruang kelasku.
"Dih, ya iyalah. Kalo ga hidup ya udah dikubur kali," balasku sambil menghunjamkan topiku ke mukanya. Ini adalah hari senin, makanya aku memakai topi, biasanya sih, gak pernah.
Namanya Alya, dia adalah sahabatku, dan aku rasa, dia juga menganggapku sebagai sahabat, semoga.
Alya dan aku adalah teman sebangku sejak kelas satu SMA, oleh karena itulah aku sangat dekat dengannya. Aku adalah seorang yang sangat pendiam, menurutku. Namun, jika aku sudah bersama Alya, sisi-sisi pendiamku tiba-tiba kabur entah kemana, menghilang begitu saja. Begitupun dia, aku jarang sekali dia bercanda selepas itu dengan seseorang selainku. Ini seperti, negatif ketika bertemu negatif, akhirnya menjadi positif. (Gak nyambung ya? Ya sudah)
Aku saat ini duduk di bangku kelas sebelas semester dua jurusan IPA. Bukan bermaksud sombong, hanya ingin memberitahu, (meskipun ini adalah kata-kata seseorang yang sedang mencoba menyombongkan diri tapi menyangkal dirinya kalau sedang sombong) aku dari pertama masuk SMA, selalu mendapat rangking pertama, kecuali di semester pertama, aku mendapat rangking ke empat. Itu membuat ibu harus ngomel-ngomel panjang kepadaku.
"Maen HP terus! Ya begitu jadinya," ditambah lagi, nanti ia akan menemukan banyak referensi anak-anak tetangga yang bisa dibandingkan denganku.
"Liat tuh si Linda anaknya pak Jaka, dia juara ini itu bla bla bla,"
Kenapa pak Jaka tidak pindah saja sih? Eh, tentu ini bukan salah pak Jaka. Untuk motivasi katanya, tapi tanpa disadari, itu justru memperkuat sisi negatifku dan membuatku semakin kecil.
Entah bagaimana jika nanti aku dapat rangking belasan atau malah akhir-akhir, mungkin namaku bisa dicoret dari kartu keluarga.
Sedangkan gadis di sampingku kini, dia selalu mendapat antara rangking 4-7, tidak pernah naik, juga tidak pernah turun. Namun, ada satu kelebihan darinya yang belum bisa aku kejar, dia benar-benar menguasai bahasa Inggris. Bahkan dia bisa ngobrol menggunakan bahasa Inggris seperti ngobrol biasa menggunakan bahasa Indonesia saja!
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Bintang Kehilangan Cahayanya
Teen Fiction[END] Aku, seorang anak sulung perempuan. Pelindung bagi kedua adik laki-lakiku. Penopang porak-porandanya hubungan orang yang paling aku sayangi, orang tuaku. Seisi dunia tak boleh melihatku lemah. Bahuku harus mampu menopang segala beban. Mesk...