Chapter 17 : Menertawakan Luka

98 28 18
                                    

Giginya bergetar menggigil. Begitupun suaranya yang bergetar akibat luka masa lalu yang baru saja ditumpahkan. Rahasia-rahasia akhirnya menemukan tempatnya untuk berpulang. Rasa takut dan trauma masa lalu akhirnya mendarat dengan selamat di telinga yang tepat.

"Kenapa gak pernah cerita sebelumnya, Ya?" tanya Noura. 

Ia menatap Alya dengan perasaan hancur setelah mengetahui kenyataan yang begitu menyakitkan yang dialami sang sahabat di masa lalu. Masa lalu yang terus saja menghantui dan membuat ketakutan.

"Gue takut Ra." Matanya memandang lurus. Di atas rumput taman, kedua kakinya dipeluk oleh lingkaran tangannya. Sesuatu yang bening menggenangi bola matanya, sisa-sisa luka.

"Gue takut kalau lu tahu siapa sebenernya gue, terus lu menjauh dari gue. Cuma lu temen yang bener-bener temen yang gue punya, Ra."

Tangan Noura memeluk punggung sang sahabat memberikan kekuatan. Padahal, dirinya juga butuh kekuatan itu. Angin sore membelai mereka berdua lembut. Semburat jingga matahari mulai menyelimuti dunia yang gelap.

"Gue gak akan ninggalin lu, Ya,"

Kini, Alya tertawa diatas lukanya sendiri.

"Maafin kata-kata gue waktu itu ya, Ya." Noura menunduk merasa sangat bersalah.

"It's okay, Ra. Gue ngerti banget perasaan lu."

"Dunia itu lucu ya, waktu pagi, semua orang ngira kita itu orang yang humoris, ceria, pinter, keliatannya seneng terus, padahal pas malem..." Alya tertawa sinis diakhir kalimatnya.

"Cuma nangis di kamar gara-gara luka yang dipendem sendirian dan gak tau mau cerita ke siapa," tambah Alya.

"Mau cerita ke orang lain, pasti dibilang kurang ibadah dan gak deket sama Tuhan. Bukannya Tuhan itu deket ya? Gue percaya kok. Gue juga sholat, doa gak pernah berhenti. Cuma kan, namanya manusia kadang juga perlu bantuan, bukan penghakiman." Alya menatap awan-awan yang berserakan namun indah, ciptaan Tuhan Yang Maha Indah.

Noura disampingnya masih setia mendengarkan dan merangkul pundak Alya, memberikannya kesempatan untuk menumpahkan segala apa yang selama ini membuat sesak di dada.

Sesekali ia menatap Alya. Dalam tatapannya, ia juga terluka.

"Kalo gak gitu, gue juga takut kalo gue cerita ke orang lain, gue selalu dianggep berlebihan. Setidaknya, ngertiin gue dikit lah. Bukannya bikin tenang, malah bikin tambah jadi beban pikiran dan mereka juga gak peduli." Alya mengusap air matanya yang sedari tadi ingin jatuh.

Tangannya masih memeluk kedua kakinya. Di bawah langit oranye, Alya tampak begitu cantik dengan jilbab biru langitnya. Begitupun Noura dengan jilbab putihnya.

"Gue pikir, semua manusia itu terluka." Tatapan Noura kini lurus ke depan. Auranya penuh ketabahan dan kekuatan. Alya menoleh kepadanya, menanti apa yang akan dikatakan Noura selanjutnya.

"Manusia itu semuanya pinter banget pura-pura, seolah dunia ini kayak perlombaan siapa yang paling bisa berpura-pura bahagia. Kalo ketahuan sedih, maka dia kalah."

"Semuanya terluka, tapi luka itu disimpen rapat-rapat sendirian."

"Padahal, dalam sedih, kita bisa belajar banyak hal yang gak kita dapetin saat seneng kan?"

"Bayangin aja kalo hidup gaada sedihnya. Hidup apaan itu? Gak ada seru-serunya, gak ada yang bisa diceritain kayak kita pas habis ngelewatin fase sedih kita."

Noura tersenyum. Sekali lagi malaikat pasti cemburu dengan senyumnya kali ini. Senyuman yang bisa memberikan kekuatan kepada orang lain, sahabatnya, juga dirinya sendiri.

"Lu bener Ra," ujar Alya.

"Lu liat Ya, itu penjual bakso disana," kata Noura menunjuk seorang pedagang bakso.

"Iya, terus?"

"Terus lu liat satu keluarga yang lagi duduk bareng-bareng itu?"

"Iya,"

"Terus sekarang lu liat bapak-bapak yang nongkrong sambil minum kopi di bawah pohon gede itu."

Alya kembali menoleh ke arah Noura, menebak-nebak apa maksudnya.

"Itu juga di jalan, rame kan?"

"Jadi?"

Noura menghela nafasnya panjang.

"Liat! Dunia sama sekali gak peduli kita terluka. Dunia tetep berputar kayak gimana mestinya. Dunia gak berhenti hanya karena nungguin kita bangkit, Ya."

"Dan gue yakin mereka semua juga terluka."

"Jadi, sebenernya itu kita gak pernah sendirian terluka, kan?"

Kini tatapan mereka berdua bertemu. Tatapan kesedihan kini berganti tatapan penuh kekuatan. Lalu mereka tertawa bersama. Menertawakan luka masing-masing.

"Menurut gue, dunia sebenernya bukan gak peduli ra." Kini Alya mengambil alih pembicaraan.

"Coba deh, sekarang lu teriak yang kenceng banget sampe semua orang itu denger."

"Kenapa emang, Ya?"

"Kalo misal kita teriak, orang-orang bakal langsung merhatiin kita kan?"

"Hmm, iyalah."

"Nah, that's the point, Ra! Mungkin, sepertinya, dunia bukannya engga merduliin kita, dan dunia emang gak bakal liat kita..." Alya mendongak ke langit, "Sebelum kita yang nunjukin ke dunia kalau kita bisa!"

Noura tersenyum begitu lapang, begitu tulus. Semua beban berat kini menjadi begitu ringan. Memang, saat kita berada di bawah, kita butuh support system. Mengakui itu sama dengan menyembuhkan luka.

"Gue bangga sama diri gue yang bisa ngelewatin itu semua." Alya menarik nafas panjang. Menenangkan dada, menguatkan bahu, lalu tersenyum.

"Tapi, gue juga janji, anak gue kelak gak boleh ngalamin apa yang gue alamin."

Sontak kata-kata Alya itu membuat Noura kembali di saat dimana ia pernah mengatakan itu juga. Alya bangkit dari duduknya. Menepuk-nepuk roknya yang kotor, berharap kotoran itu terbang menjauhi tubuhnya.

Alya menjulurkan tangannya kepada Noura. Noura memiringkan kepalanya tak mengerti.

"Ayo kita muter-muter naik motor Ra, keliling kota sambil teriak-teriak. Haha. Kita ketawain dunia ini. Udah lama kita diketawain dunia terus."

Cahaya Noura kembali berpendar. Ia meraih juluran tangan sahabatnya itu.

"Pake motor lu ya tapi, gue gak bawa motor, hehe." Alya menyeringai.

"Dih, sok-sokan ngajak tapi gak modal. Yaudah gas lah!"

Sinar oranye sempurna memeluk bumi. Di jalanan lepas dan di atas motor, Noura dan Alya saling berteriak, bernyanyi tak peduli respon sekitarnya. Mereka hanya ingin mengeluarkan semua beban yang telah lama ditanggung tubuh kecil mereka.

Selama setengah jam lebih berkeliling kota, lampu-lampu jalan mulai dihidupkan, tanda maghrib segera tiba. Noura mengantar Alya pulang ke rumahnya, lalu ia pulang.

Setelah sekian lama, akhirnya senyuman bisa mereka bawa ke rumah masing-masing.


~~~

Terkadang, alam raya memaksa kita untuk berhenti memaksa segala harapan yang terus dipaksakan.

Kemudian, kita dipaksa mengikhlaskan.

Dan pada akhirnya, kita akan semakin tangguh dalam segala keadaan. 

~~~

Ketika Bintang Kehilangan CahayanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang