Chapter 8 : Tugas Seorang Kakak

114 42 17
                                    

.

.

.

~~~


Rumus-rumus rumit aku bereskan. Malam ini untungnya tidak ada cerita Ezra atau Firman yang minta tolong untuk tugas sekolah mereka. Aku bisa tidur lebih awal sekarang.

Aku membuka gawaiku. Sebenarnya, aku masih menunggu notifikasi pesan dari Rendi. Aku buka kolom chatnya, di bagian atas tertulis "terakhir dilihat 12 menit yang lalu". 

Ah, dia sudah tidur? Jika tidak ketiduran, kebiasaanku adalah, aku selalu berwudhu sebelum tidur. Entah, rasanya ada yang kurang jika tidur tanpa wudhu. Aku merasakan ketenangan pada setiap basuhannya. Jika aku tidur dan tak membuka mataku lagi, setidaknya, aku dalam keadaan suci.

Pintu kamarku aku tutup. Aku berjalan menuju kamar mandi.

"Uhuk.. uhuk.." seseorang terbatuk.

Beberapa langkah dari kamar, aku terkejut. Ibu terduduk sendirian di ruang tengah.

"Loh, bu. Belum tidur?" sapaku. Biasanya, jam segini ibu sudah berada di kamarnya dan baru muncul lagi sebelum subuh. Mungkin karena kelelahan setelah bekerja dari pagi hingga petang, ibu selalu terlihat seperti kehabisan tenaga saat di rumah.

Aku sebenarnya tak tega melihat ibu bekerja sekeras itu. Ibu selalu menolak saat aku menawarkan diriku untuk bekerja.

"Kamu fokus sekolah saja. Ini sudah tanggung jawab ibu." Kata itu yang selalu keluar dari bibirnya yang pecah-pecah.

Meski kerap membuatku merasa tertekan, namun, entah mungkin karena aku pernah tinggal di tubuhnya selama sembilan bulan, aku tak pernah bisa menaikkan nada suaraku di depannya, apalagi melawannya.

Dan faktanya, di dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku merindukan saat-saat aku bisa bercanda dengan ibuku, juga, ayahku. Sebenarnya sederhana bukan keinginanku? Namun pada kenyataannya, keinginan sederhana itu ternyata tak sesederhana yang terlihat.

Sejak hari itu, aku tak pernah lagi melihatnya tertawa begitu lepas.

"Belum Ra. Mau ke kamar mandi ya?"

"Iya bu."

"Yaudah kamu ke kamar mandi dulu, habis itu, ibu mau bicara sama kamu." Ucap ibu menyunggingkan senyumnya.

"Iya bu." Aku membalas senyumnya lalu menyelesaikan urusanku di kamar mandi.

Selesai ke kamar mandi, aku ke dapur untuk membuat dua teh. Satu untukku, satu untuk ibu.

"Ini bu, udah lama nggak nge-teh kan?" Teh aku letakkan di atas meja. Ibu kembali tersenyum.

Aku menempati tempat duduk sebelah ibu yang sudah dipersiapkannya untukku.

"Kenapa bu? Tumben jam segini belum tidur?"

"Yah, ibu pengen ngobrol aja sama kamu Ra. Uhuk.. uhuk.." Kalimatnya ditutup dengan batuk.

"Ibu sakit? Sudah minum obat?"

"Sudah kok Ra. Ini Cuma batuk biasa. Kamu gausah khawatir."

"Emm. Semoga cepet sembuh, bu." Pikiranku mengolok-olok hatiku. Kenapa aku justru merasa seperti canggung?

Apa mungkin karena sudah lama sekali aku tidak berbincang empat mata dengan ibu?

"Ezra sama Firman udah tidur bu?" tanyaku berusaha menghilangkan kecanggungan yang aku rasakan.

Ketika Bintang Kehilangan CahayanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang