Chapter 24 : Pengisi Lubang di Hati

43 4 0
                                    

"Pilih ayah atau ibu?"Ingatan itu tiba-tiba kembali mendobrak pikiranku. Mungkin aku memang kehilangan cinta pertamaku, tapi untuk kali ini, ada seseorang yang bisa menggantikannya, bahkan mungkin lebih baik. Aku bersyukur atas jalan hidupku. 

Coba bayangkan, bagaimana kita bisa memilih antara jantung dan paru-paru? Dan segala keputusan-keputusan diantara pilihan-pilihan yang sulit dihadapkan kepadamu ketika engkau mulai beranjak dewasa, namun pada akhirnya, engkau memang harus merelakan salah satunya.

Lalu, terkadang engkau akan menyesali pilihanmu karena mungkin saja pilihan yang lain lebih menjanjikan kebahagiaan daripada yang kau pilih. Hei, bukannya itu pilihanmu dan atas pertimbanganmu dulu? Semuanya memiliki risiko. Saat keputusan yang engkau ambil rasanya bukan keputusan yang tepat, tak mengapa, karena itulah yang terbaik, karena itulah jalan untukmu. Mungkin saja jalan itu bisa membuatmu terasa begitu hancur, tapi selain itu, ia juga membuatmu semakin kuat.

"Besok lusa, ayah sama ibu mau pulang kampung ke orang tua ayah, kamu kan masih sekolah, kamu di rumah dulu ya, jagain adek-adek kamu juga. Paling cuma seminggu kok."

Dan hari ini, ayah dan ibu akan berangkat. Memang hanya seminggu, tapi setelah lama tak merasakan kehangatan keluarga yang sebenarnya, seminggu rasanuya terlalu lama. Tapi tak mungkin juga ayah pulang kampung dengan jarak yang sangat jauh hanya untuk dua tiga hari disana.

"Jaga diri kamu baik-baik ya, jaga adek-adek kamu juga. Ayah tahu kamu anak yang kuat, Noura," ucap ayah sambil mengelus-elus kepalaku.

"Ibu jangan lama-lama perginya." Sahut Firman. Dibalas senyuman lalu ibu mengelus-elus kepalanya.

"Jaga diri baik-baik ya, Ra." Pesan ibu, lagi. Aku mengangguk.

"Oh iya, ibu minta maaf ya sama kamu, mungkin selama ini ibu banyak sekali salah sama kamu. Ibu juga mau ngucapin makasih sudah jadi anak yang baik, pinter, tanggung jawab sama adik-adik kamu. Apapun itu, ibu bangga sama kamu, Ra."

Jika tak ku tahan, aku pasti sudah menangis saat ini, hingga aku tak kuasa untuk berkata-kata. Aku peluk ibu kuat-kuat, "Maafin Noura juga ya bu, makasih sudah jadi ibu yang hebat buat Noura." Ibu memelukku semakin erat.

Aku mencium tangan kedua orang tuaku, diikuti Ezra dan Firman, lalu mengantarnya hingga mobil yang membawa mereka berdua tak terlihat lagi dari halaman rumah.

***

Matahari sore merekah meski gerimis mengguyur seisi bumi. Awan-awan bak coretan di atas kanvas raksasa yang disinari cahaya jingga yang begitu teduh dengan perpaduan hujan yang tak lebat. Seakan mengguyur tubuh-tubuh yang kelelahan dengan setiap keindahan yang jatuh dari langit.

"Ayah sama ibu gue lagi pulang kampung ke orang tua ayah gue, Ya. Jadi ya dirumah cuma bertiga sama adek-adek gue. Itupun mereka lebih seneng kelayapan sama temennya, namanya juga bocah."

"Halah, lu juga bebas buat pulang kapan aja kan."

"Haha, iya sih, cuman gue juga harus mastiin adek-adek gue udah makan belum, terus sekolahnya aman apa engga, macem-macem."

"Udah kayak punya anak aja ya, haha."

"Tapi gue enjoy-enjoy aja sih."

Masih dengan Alya, di kafe favoritku bersamanya. Ia masih dengan kopi susunya, aku dengan kopi arabikaku. Membicarakan hal-hal kecil, sesuatu yang sedang ramai di media sosial, nostalgia awal-awal masa SMA, masa depan, hingga pengakuan terhadap masing-masing jiwa.

"Kalau diingat-ingat lagi, kita hebat juga ya, Ya."

"Haha, iya banget sih. Keren ya kita, bisa ngelewatin masa lalu yang sesulit itu."

"Kamu masih ada komunikasi kan sama Kak Zahra?"

"Masih lah, Ra. Kita juga mau ketemuan minggu depan Ra. Kak Zahra mau ke rumahku."

"Wah, aku bisa ketemu orang hebat dong."

"Lu juga hebat, Ra."

"Kita sama-sama hebat Ya."

Alya tersenyum.

"Makasih ya, Ya. Sudah mau stay terus sama gue."

"Makasih juga, Ra. Lu juga sudah bantu gue berdamai sama masa lalu gue. Satu hal yang sulit banget gue lakuin sebelum kita saling mengerti."

"Sama-sama, Ya. Semoga kita bisa kayak gini terus ya. Lu itu berharga banget buat gue. " Kalau diingat-ingat, aku dari dulu begitu gengsi untuk mengucapkan kalimat seperti itu kepada Alya, tapi aku pikir lagi, setelah semua yang kami lewati bersama, aku tak akan membiarkan diriku menyesal karena belum sempat mengucapkan apa yang ada di hatiku.

"Memang kalau kita kehilangan seseorang yang kita sayang itu, rasanya, dunia yang kita lihat jadi berbeda. Seakan penuh kegelapan. Hati itu rasanya ada lubang besar di dalamnya, dimana lubang itu susah banget untuk ditutup lagi. Sebagian orang bahkan menyerah untuk mencari sesuatu untuk menutup lubang tersebut. Lari dari kenyataan, lalu menganggap segala yang ada di kenyataan itu buruk. Memang susah, sih..."

Aku masih mendengarkan Alya berbicara. Semakin panjang obrolan kami, pasti semakin dalam juga yang dibahas.

"Tapi, lubang itu sebenernya hanya bisa ditutup dengan kita berdamai dengan kenyataan, lalu mempersilahkan orang-orang di sekitar kita untuk menerima kita. Kalau kita terus menutup diri, itu sama kayak lari, kan?"


~~~

Saat seseorang yang kita cintai pergi,

Seolah ia meninggalkan lubang besar di hati kita.

Dunia yang kita lihat seolah berbeda, semuanya gelap.

Hingga kita hanya ingin berada di dunia dimana sang kekasih berada,

meskipun hidup di dunia mimpi.

Tapi pemenang dari semuanya adalah,

merekayang mau menghadapi realita, meskipun harus berjalan dengan luka.

~~~

Ketika Bintang Kehilangan CahayanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang