Chapter 15 : Alya

98 33 15
                                    

.

.

.

Happy reading :)

~~~

Seluruh penduduk alam raya sepakat memanggilku Alya. Aku tidak tahu, apakah aku anak tunggal, anak sulung, anak bungsu, atau apapun itu.

Kau tahu? Aku tidak tumbuh di lingkungan seperti kebanyakan anak pada umumnya. Aku tidak pernah merasakan bagaimana pangkuan seorang ibu. 

Aku juga tidak pernah tau bagaimana rasanya dipeluk oleh cinta pertama anak perempuan, ayah. Aku tumbuh bersama teman-temanku dan diasuh oleh seorang wanita berhati malaikat bersama suaminya. Aku sudah menganggap mereka berdua orang tuaku. Meskipun, aku harus berbagi orang tua dengan teman-teman yang lain. 

Aku tidak tahu bagaimana aku bisa tumbuh disini. Semua berjalan begitu saja. Seolah alam raya telah mufakat untuk membesarkanku disini.

Sebenarnya teman-temanku disini juga tidak terlalu banyak. Kami hanya bertujuh, tinggal di sebuah rumah yang tidak terlalu mewah, juga tidak terlalu mengenaskan. Rumah itu diberi nama "Yayasan Ar-Rahmah".

Aku adalah yang paling kecil di antara mereka. Yang paling besar namanya kak Dela dan kak Sari, mereka berdua sudah kelas 3 SD. 

Lalu ada kak Tasya dan kak Bela—entah kenapa aku ketika mau memanggil kak Bela selalu saja terbalik dengan nama kak Dela, begitupun sebaliknya, mereka berdua kelas 2 SD. 

Sedangkan aku, kak Sekar, dan kak Syifa masih belum sekolah.

Setiap seminggu sekali, ada saja orang baik yang memberikan sumbangan. Entah itu berupa uang, mainan, ataupun permen dengan jumlah yang banyak yang diberikan kepada masing-masing kami. 

Yang paling menyenangkan, biasanya kami akan makan enak bersama-sama. Adapun sumbangan seperti sembako dan kebutuhan yayasan yang lain, itu akan diberikan kepada ibu pengasuh yayasan.

Ibu pengasuh yayasan itu bernama Bu Rahma. Namun, kami bertujuh memanggil beliau ibu saja. Ibu dulunya seorang guru di sebuah SD, sebelum akhirnya keluar karena ingin fokus kepada kami.

Ibu ditemani oleh suaminya yang bernama Pak Burhan. Kami juga memanggil Pak Burhan dengan sebutan ayah. Beliau memiliki usaha mebel yang beliau rintis sendiri. 

Sekarang, bisnisnya itu menjadi lowongan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Hasil dari usahanya itu sebagian besar untuk mengurus kami. Bahkan beliau sekeluarga juga makan bersama kami dengan lauk yang sama.

"Mungkin, bisnis mebel saya ini pun bisa cukup besar seperti sekarang karena berkah mengurus anak-anak yatim piatu," Itu yang selalu menjadi jawaban ayah ketika ditanya seseorang kenapa mau saja susah payah mengurus kami.

Ibu dan ayah hanya memiliki satu anak yang sangat cantik, namanya Kak Zahra. Ia sedang kuliah jurusan kimia murni di sebuah universitas ternama di Indonesia.

Kak Zahra juga sudah aku anggap seperti kakak kandungku. Dia baik, cantik, pintar, dan yang paling membuatku terkesan, suaranya saat mengaji benar-benar merdu. Kak Zahra juga seorang hafidzah 30 juz.

Oh iya, terlalu mengagumi Kak Zahra, aku jadi lupa, padahal aku sedang ingin menceritakan diriku sendiri.

Yang perlu digarisbawahi, Ar-Rahmah bukanlah sebuah pondok pesantren, namun hanya sebuah yayasan yatim piatu yang bernuansa pesantren. 

Kami bertujuh selalu sholat lima waktu berjamaah, belajar mengaji bersama—meskipun aku selalu ngantuk entah kenapa, bermain bersama, makan bersama, hingga bangun bersama.

Ketika Bintang Kehilangan CahayanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang