Chapter 10 : Runtuhnya Dunia

122 43 13
                                    

.

.

.

Happy reading :)

~~~

"Jangan lupa soal-soal di LKS dikerjakan semua sampai halaman terakhir. Satu minggu sebelum UAS akan saya tagih. Jika ada yang tidak mengumpulkan, nilai di raport akan saya kosongkan." Penampilannya santai. Ia duduk bersandar di kursi kebesarannya.

Murid-murid yang ramai tak ia pedulikan, yang penting tugasnya hanya mengajar. Bagi siapa yang mau belajar, ayo. Kalau tidak mau, ya sudah. Mungkin itu prinsip yang beliau pegang. Namun kenyataannya, tugas yang ia beri tak sesantai penampilannya. 

Guru bahasa Indonesia ini selalu memberi tugas-tugas menumpuk dengan deadline panjang. Meskipun begitu, kebiasaan anak kami yang menunda-nunda pekerjaan membuat tugas-tugas itu tampak menumpuk dan banyak sekali. 

Siapa yang salah? Entahlah, kalian bisa menilai sendiri. Selama sisa pelajaran, aku tak bisa fokus. Pikiranku masih melayang-layang di London.

Keluarga atau cita-cita?

Seolah menjadi dua pilihan yang harus aku pilih salah satu dan aku korbankan satu yang lainnya. Kenapa tidak bisa dua-duanya? Ah, itu mustahil bagiku.

Berapa banyak mereka di luar sana yang menggapai cita-citanya dengan dorongan penuh orang tuanya tanpa mengorbankan salah satunya, bahkan keduanya menjadi kombinasi yang saling melengkapi. 

Tapi, kenapa aku tidak bisa mendapat itu? Sesulit itukah? Kenapa alam raya seolah berkonspirasi untuk menyudutkanku? Kenapa dunia seolah tak adil bagiku? Mungkin ini terdengar berlebihan. 

Tapi, apa tidak ada yang mau mencoba mengerti bahwa aku sedang rapuh dan butuh sandaran. Yang mau mendengar tanpa penghakiman. Yang mau menjadi tempatku berkeluh kesah panjang lebar tanpa menudingku terlalu lemah dan tak mau bersyukur. Aku, hanya butuh untuk di dengar, tak lebih.

Sedetik kemudian, aku teringat oleh Rendi. Dia akan mengajakku bertemu nanti. Apa dia akan bersedia menjadi tempatku bersandar? Aku sangat rapuh sekarang. 

Ingin sekali aku dibiarkan menangis di depan seseorang tanpa perlu disuruh berhenti, hingga aku kembali tenang dan kembali menghadapi masalah yang ada. Sebentar saja. Semoga. 

Mungkin Rendi juga merindukanku, makanya dia mengajakku bertemu. Mungkin kesibukannya beberapa akhir ini membuatnya bosan dan tak sabar untuk bercanda denganku. Aku tak sabar untuk bertemu dengannya. Poros peredaran duniaku.

"Cukup sekian pelajaran hari ini. Sekali lagi jangan lupa tugasnya. Saya akhiri. Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh."

Hari ini, total ada tiga pelajaran yang tugasnya adalah mengerjakan seluruh soal di LKS dengan deadline panjang. Kejam sekali.

Penghuni kelas sebelas IPA 4 menyangkutkan tangan tas ke bahu masing-masing. Beranjak dari kursi yang sudah terlalu panas, bukan lagi hangat. Mereka bergiliran mencium tangan sang guru. 

Satu persatu keluar dan bersebar ke seluruh penjuru. Ada yang langsung ke parkiran, ada yang ke kantin, ada yang nongkrong sembarangan di depan kelas yang telah terkunci hingga petang, ada yang berurusan dengan ekstrakurikuler.

Aku masih berdiri di depan kelas. Membuka tutup gawaiku. Sebuah notifikasi aku tunggu-tunggu.

"Gimana Ra?" tanya Alya.

"Belum ada kabar Ya."

"Yaudah lu tunggu aja deh. Kali aja penting." Aku mengangguk.

"Gue tunggu di samping warung soto aja ya, gue tunggu?"

Ketika Bintang Kehilangan CahayanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang