Dunia ini penuh dengan kejutan, hampir semua orang sepakat akan hal itu. Jika kau saat ini belum sepakat untuk itu, suatu saat kau pasti akan sepakat juga.
Tentang sesuatu yang sangan dekat denganmu hingga kau mengira ia pasti akan menjadi milikmu, tapi nyatanya, bahkan matahari belum sempurna terbenam pun, kenyataan begitu cepat berbalik, hingga kau pikir ia tak akan pernah menjadi milikmu selamanya. Tentang keadaan yang kau kira akan membuatmu terbenam selamanya, nyatanya, beberapa saat setelah matahari menunjukkan kilaunya, keadaan dapat sempurna terbalik, hingga kau kira, kau akan bahagia selamanya.
"Sabar ya, Ra," ucap Alya memelukku, memberikanku kekuatan.
Lagi-lagi, tentang kehilangan. Padahal, beberapa saat yang lalu, aku sedang membicarakan mimpi-mimpi yang mungkin bisa aku capai, tentang nyamannya keadaan rumahku sekarang ini. Namun, kini justru kenyataan dari arah lain sempurna meruntuhkanku.
"Aku juga masih mencintaimu, Rendi," ucapku dalam hati, sambil berharap ia dalam dimensi yang lain mampu mendengarkan apa yang aku batin, lalu ia tersenyum kepadaku.
Malam harinya, aku, Alya dan beberapa teman mengunjungi rumah duka. Sampai disana, aku disambut oleh ayat-ayat yang mencoba merayu langit, beserta doa-doa yang dilayangkan disana, berharap diijabah oleh pencipta langit.
Saat masuk ke dalam, terlihat wajah-wajah dengan tangis yang sudah kering, terlebih wanita paruh baya yang mengenakan gamis hitam ditengah perkumpulan, ia sedang menjelaskan kronologi wafatnya sang putra, lalu disambut oleh pelukan beberapa orang disampingnya, sambil mengatakan bahwa sang putra adalah anak yang baik, ia pasti diterima disisi-Nya yang terbaik.
"Saya turut berduka cita, Bu," ucapku setelah menyalami dan mengecup tangan beliau, diikuti teman-temanku yang lain.
"Terimakasih, nak. Kalian teman sekolahnya Rendi ya?" tanyanya parau.
"Iya bu, kami teman sekolahnya Rendi."
"Doakan Rendi ya nak. Maafkan juga dia, pasti banyak salahnya."
"Sudah kami maafkan, Bu. Rendi anak yang baik. Kami benar-benar merasa kehilangan."
"Terimakasih, Nak. Ngomong-ngomong, siapa nama kamu?" tanya beliau sambil mengusap-usap pundakku.
"Saya Noura, Ibu."
"Kamu Noura? Ya Allah. Allahuakbar."
"Eh i-iya bu, saya Noura."
Sang ibu tiba-tiba memelukku dengan erat, tangisnya kembali pecah. Begitu pun denganku, aku tak kuasa menahan air mataku lagi. Peluknya begitu hangat, begitu tulus.
"Ibu yang kuat, ya," bisikku.
Setelah menenang sang ibu melepaskan peluknya dariku.
"Beberapa hari sebelum Rendi meninggal, dia sempat cerita tentang perempuan bernama Noura. Katanya, dia adalah perempuan yang kuat, yang mampu menjalani kehidupannya yang berat tanpa ada orang lain yang tahu tentang itu. Katanya, dia juga perempuan yang cerdas, yang begitu terkenal akan prestasi akademiknya." Ia menghembuskan nafasnya dengan panjang, memberi jeda untuk menyampaikan kalimat yang pernah keluar dari mulut sang putra tercinta. "Kamu pernah ada hubungan khusus dengan Rendi kan, Noura?"
Aku sedikit terkejut dengan pertanyaan sang ibu, "Iya bu," jawabku tak mengada-ada. Bagaimana tidak, Rendi adalah salah satu orang terpenting di hidupku, hingga sekarang.
"Terimakasih ya," ucapnya. Tanpa penjelasan lebih. Meninggalkan kalimatnya dengan wajahku yang masih penuh tanda tanya akan makna.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Bintang Kehilangan Cahayanya
Teen Fiction[END] Aku, seorang anak sulung perempuan. Pelindung bagi kedua adik laki-lakiku. Penopang porak-porandanya hubungan orang yang paling aku sayangi, orang tuaku. Seisi dunia tak boleh melihatku lemah. Bahuku harus mampu menopang segala beban. Mesk...