Chapter 13 : Pulang

98 38 9
                                    

.

.

.

Happy reading :)

~~~

Hari ini matahari bersinar sangat terang. Meskipun hari ini juga, cahayaku kehilangan sinarnya. Langit kehabisan air mata untuk ditumpahkan. Bumi kehilangan kata untuk berbincang. Alam raya penuh kesunyian yang mencekam.

Hari ini, aku pulang dengan perasaan, jiwa, dan raga yang hancur. Semua kenyataan menghujamiku dengan tamparan keras. 

Setiap aku bangkit, tamparan lain mendarat, aku tersungkur, begitu dalam. Terus begitu hingga titik terendahku saat ini. Beruntung, rumah sedang tak berpenghuni saat ini. Aku bebas menumpahkan segala rasa sakit sendirian. Kamar kecilku masih setia menemaniku. 

Pintu aku tutup rapat, lalu aku kunci dari dalam. Tubuhku yang terlalu lelah menanggung kejamnya dunia kujatuhkan di kasur. Tangisku benar-benar meledak sesenggukan. 

Aku merasa sendirian saat ini. Aku merasa tak akan ada yang peduli padaku. Aku merasa benar-benar dipecundangi dunia saat ini.

Dadaku sakit sekali. Nafas yang ku hirup kian membuatku sesak.

"Hiks.. hiks.." Aku menangis sesenggukan.

Aku lihat di tubuhku, tak ada yang luka sama sekali. Tapi rasanya sakit sekali. Apa Tuhan memang tak pernah ingin membiarkanku bahagia? 

Semua rentetan kenyataan begitu menyakitkan. Luka-luka itu tak pernah sembuh. Semakin lama semakin membiru.

Hampir satu jam aku menangis, aku beranjak dari tempat tidurku. Kepalaku terasa sangat berat. Pandanganku kabur. Cahayaku benar-benar redup, lalu hilang.

Aku menuju ke meja belajarku. Tubuhku yang seakan tak mampu lagi berdiri, jatuh dan terduduk. Punggungku bersandar di kursi.

Andaikan ayah dan ibu tahu betapa sakitnya aku ketika teman-temanku menceritakan keharmonisan keluarga mereka. Air mataku kembali mendobrak-dobrak memaksa keluar. Pipiku yang belum sempat kering kembali basah.

"Kamu pilih ayah atau ibu?"

"Kamu berhenti sekolah dulu setelah lulus SMA, ya?"

"Pak Arifin bilang, bahwa ia telah menemukan lima orang yang pantas menerima beasiswa itu, Noura. Beasiswa itu adalah, beasiswa pendidikan untuk kuliah di, London. Lima orang itu, salah satunya adalah kamu, Noura."

"Kalau saran bapak, terimalah, Noura. Kesempatan seperti ini tidak datang dua kali. Apalagi, ini cita-cita kamu sejak lama, kan?"

"Ra, kita udahan."

"AAAAAAARRGGHH...!"

"Noura capek yaaah!"

"Noura capek buuu!"

"Noura capek." Tangisku tak terkendali.

"Kenapa harus aku yang mengalami ini semua?"

"AAAAARGH...!"

Bluukk.. Praang.. Praang...

Semua barang di atas meja ketakutan melihat tanganku yang mencari pelampiasan. Dadaku semakin sesak.

"Tuhan, aku ingin menyerah saja," gumamku dalam isak. "Aku sudah terlalu lelah."

Tanganku mencari silet di laci meja. Aku hanya berpikir, mungkin luka yang nyata di tubuhku bisa mengurangi rasa sakit luka di dalam.

Ceritaku berakhir?

"Noura sayang ayah, sungguh."

"Noura sayang ibu,"

"Noura sayang Ezra dan Firman,"

"Maafkan aku Alya,"

"Maafkan aku Rendi, aku juga sangat mencintaimu,"

"Maafkan Noura, semuanya."

Silet kecil dan tajam aku genggam kuat. Mungkin, saat aku telah pergi selamanya nanti pun tidak akan ada yang peduli.

Ayah telah bahagia dengan keluarga barunya.

Ibu masih punya Ezra dan Firman yang bisa membuatnya bahagia, tak seperti diriku yang hanya bisa menyusahkan saja.

Alya, aku yakin kamu akan punya sahabat yang lebih baik daripada aku. Yang lebih bisa mengerti kamu. Yang selalu ada saat kamu butuh.

Rendi, kamu sudah punya dunia yang baru. Aku pikir, kamu tak akan peduli lagi denganku. Selamat berbahagia.

"Ra!" Suara ibu terdengar dari luar memanggilku. Aku tidak peduli.

Silet yang aku genggam dengan tangan kananku aku dekatkan ke bawah pergelangan tangan kiriku. Tubuhku bergetar hebat, bercampur dengan isakan tangis.

Pintu kamarku diketuk.

"Ra? Kamu ngapain?"

Kepalaku pusing sekali. Semua kejadian menyakitkan terus berputar-putar di kepalaku.

"Selamat tinggal, semuanya..."

"Noura sayang kalian."

Aku menarik nafas panjang.

Noura, cahayamu ga boleh mati

Noura, cahayamu ga boleh mati

Noura, cahayamu ga boleh mati

Sepersekian detik sebelum silet mendarat di saluran nadi tangan kiriku, kedua bola mataku menemukan tulisan lama di sebuah kertas. Tulisan yang aku tulis sendiri dengan tangan yang saat ini sedang putus asa.

"Astaghfirullah,"

Silet aku lemparkan sembarangan. Tanganku kananku berdarah akibat genggamanku. Aku peluk diriku sendiri, lagi.

"Kamu harus kuat, Noura,"

"Jangan nyerah ya, sayang."

"Kamu hebat, udah bertahan sejauh ini."

Pada akhirnya, sebenar-benar teman adalah diri sendiri. Lagi-lagi, diriku menolongku.

"Noura, cahayamu ga boleh mati, ya?"

Tok tok tok...

"Ra?" Suaranya semakin tinggi.

"Noura ga papa bu,"

"Buka pintunya,"

Aku beranjak dari kursi menuju pintu. Langkahku gontai. Tubuhku seolah kehilangan kekuatan.

Ceklek...

Tubuhku ambruk seketika.

"Noura!"

Aku tak sadarkan diri.


~~~

Bagaimana jika harapan yang ditumbuh malah membunuh?

Bagaimana jika cinta yang dirawat malah menyayat?

Bagaimana jika semua sudah mencapai batas?

Tubuh yang terluka membutuhkan peluk.

Hati yang berdarah mencari tempat pasrah.

Diri kebingungan mencari tempat pulang,

Padahal, tempat pulang terbaik adalah,

Diri sendiri.

~~~


~Auzoraaaaa

Ketika Bintang Kehilangan CahayanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang