Chapter 12 : Isakan Masa Lalu

102 38 8
                                    

.

.

Happy reading:)

~~


Bulan terisak dalam tangis. Hujan turun begitu deras bersama guntur yang menyala-nyala. Seolah alam raya sedang bersedih begitu dalam. Gelap malam begitu pekat, tak seperti fungsinya yang meneduhkan. Juga, diriku. Fungsi cahaya di diriku tak berfungsi malam ini.

Gelap seringkali dimaknai kepedihan. Malam seringkali menjadi waktu paling nyaman meromantisasi penderitaan. Mungkin, lampu di rumahku setiap hari merasa bersalah karena telah membuat luka semakin terlihat terang. Dekapan diriku sendiri memberi sedikit hangat pada jiwaku yang menggigil.

Wajar bila saat ini

Ku iri pada kalian

Yang hidup bahagia berkat suasana indah dalam rumah

Hal yang selalu aku bandingkan dengan hidupku yang kelam

Tiada harga diri agar hidupku terus bertahan

Lagu "Diary Depresiku" yang dibawakan Last Child begitu berhasil menguras emosiku. Ini bukan teriakan putus asa. Ini bukan tentang menyerah pada keadaan. Ini bukan cacian pada takdir Tuhan. Tidak. Aku tidak akan menyerah. Namun, aku hanya berharap, semesta mengizinkanku bersedih malam ini.

Luka yang mati-matian aku tahan selama ini. Sedih yang mati-matian aku coba enyahkan dari jiwa. Semua itu hanya membuatku semakin tertekan dan kesedihan pun menumpuk bak bom waktu yang menunggu meledak.

Di bawah lampu kamar yang redup. Di dalam dekapan selimut. Di atas nangungan kasur. Di belai oleh guling dan bantal. Aku menangis sesenggukan. 

Kapan semua ini berakhir? Sampai kapan aku harus bertahan dalam situasi ini? Aku tau aku masih kecil dan masa depanku masih panjang. Tapi, aku saat ini begitu lelah. Tuhan, kenapa ini begitu berat? Mohon bantuanmu.

Mungkin semua orang tak akan menyangka seorang Noura yang tenggelam dalam kesedihan di kamarnya. Noura yang selalu riang di sekolah. Murid yang cukup diakui kepandaiannya oleh para guru. Ia yang selalu bisa mencari bahan candaan di sekeliling teman-temannya. Seolah hidupnya begitu sempurna penuh kebahagiaan. Apa lagi yang kurang?

Orang tua yang menyanyanginya. Prestasi yang membanggakan. Wajah yang begitu riang. Namun, semua itu justru begitu berbanding terbalik dengan kenyataan. Rasanya, jika aku boleh memilih. Aku tak pernah ingin pulang jika sudah di sekolah ataupun di rumah.

Kata kebanyakan orang, rumah adalah surga. Tapi, kenapa aku tidak merasa begitu? Justru seperti neraka yang membuatku selalu terlihat depresi sendirian. Mungikn, hanya kamar ini yang selalu setia menemani malam-malam panjangku.

Semua itu terlihat berlebihan bukan? Tapi sungguh, itu yang aku rasakan. Tolong, izinkan aku menangis dan bersedih malam ini. Sekedar melepas semua luka lebam yang aku tahan selama ini. Hingga tak sadar, aku tertidur dalam isak. Pergi ke alam pelarian dari kenyataan.

***

Hujan habis, begitu pun air mataku. Semoga hari ini keadaan semakin baik. Semoga.

Hari ini adalah hari pertama libur panjang sekolah. Aku benci sekali hari libur. Bukan berarti aku terlalu rajin, namun, aku tak punya alasan lagi untuk keluar rumah. 

Ezra dan Firman pergi bermain saat gerombolan kawan-kawannya menghampiri ke rumah. Ibu terlihat sibuk mencuci piring di dapur. Aku mendekatinya.

"Noura gantiin bu?" Aku menawarkan bantuan.

"Nggak usah. Udah hampir selesai kok," jawab ibu.

"Yasudah bu." Setidaknya, aku sudah berusaha menawarkan diri.

"Ra, Ibu mau ngobrol sama kamu." Piring-piring kotor itu belum semuanya dicuci. Namun, ibu mencuci tangannya lalu mematikan kran air yang sedari tadi mengalir.

"Iya bu." Aku memilih mengiyakan saja, tak mau panjang lebar. Sedari tadi, aku tidak melihat ayah di rumah. Mungkin pergi bekerja pagi-pagi sekali. Ibu berjalan mendahuluiku menuju ruang tengah. Aku mengikutinya. 

Kami duduk berdampingan di kursi kayu panjang. Tak biasanya ibu mengajakku berbincang seperti ini. Aku rasa obrolan ini akan sangat serius.

Sebenarnya, perasaanku sekarang pun masih belum begitu membaik. Entah rasa kecewa begitu merajai diriku. Kecewa kedua orang yang aku sayangi selalu melayangkan nada-nada tinggi setiap malam, kecewa karena diriku tak mampu berbuat apapun untuk mencegahnya. Aku mencoba menenangkan diriku.

"Ra." Bukanya.

"Iya bu?"

Ibu memperbaiki posisi duduknya. Menghela nafas panjang, sembari memilih kalimat apa yang akan diucapkan. Ada sesuatu menahan ucapannya, meskipun kalimatnya tetap memaksa keluar

"Kamu pilih ayah atau ibu?"

Kalimat itu sempurna menembus telingaku dan menghujam dadaku. Sesak sekali. Pertanyaan macam apa itu? Mana mungkin bisa pertanyaan seperti itu aku jawab. Aku masih tak percaya apa yang aku dengar barusan. Aku menatap ibu penuh tanda tanya.

"Pilih ayah atau ibu? Ma-maksud ibu?"

Ku lihat, ibu juga menahan dirinya untuk tak menangis.

"Ibu dan ayah cerai, Ra." Ibu meraih tanganku dan menggenggamnya. Memberiku aliran kekuatan. "Ezra dan Firman akan tetap tinggal sama ibu,"

"Kamu anak ibu yang paling besar. Jadi, ibu memberi kamu kebebasan untuk memilih, ingin tinggal sama ayah atau sama ibu, Ra."

Meskipun aku benci kepada ayah saat melukai ibu, namun disaat yang bersamaan, aku sangat menyayanginya. Bayangan candaan ketika kecil bersama ayah berkelebatan di benakku.

Seorang yang katanya cinta pertama seorang anak perempuan. Laki-laki pertama yang melindungi anak perempuan. Namun, aku rasa itu tidakk terjadi padaku. Hari ini, aku sempurna kehilangan cinta pertamaku.

Aku hanya terdiam. Jawaban tak mampu keluar dari bibirku.

Bagaimana jika dua orang yang paling dicinta justru saling membenci. Bagaimana jika dua orang yang paling disayang justru saling mencaci. Dan aku berada di antara mereka. Menjadi penengah, aku tak mampu. Menjadi penenang, aku tak mampu. Ingin sekali melihat mereka seperti dulu.

Pada akhirnya, aku tetap tidak berdaya dan tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya mampu menangis lagi. Semua rasa cinta yang dulu diberikan dan ditancapkan begitu dalam, kini harus dicabut secara paksa. Begitu sakit.

Ibu sepertinya tak kuasa melihatku. Ia memelukku. Kami berdua merayakan kesedihan.

Mungkin ini adalah pilihan terbaik bagi kedua orang tuaku yang memang sudah tak bisa dipaksakan lagi untuk bersatu.

Sejak saat itu, aku bersumpah pada diriku sendiri. Kelak, anakku tak boleh mendengar nada-nada tinggi setiap malam. Kelak, anakku tak boleh merasakan pedih seperti apa yang aku rasakan.

Aku akan sungguh-sungguh mencapai mimpiku dan menunjukkan pada dunia yang selalu memojokkanku, bahwa aku, akan selalu bisa berdiri setelah dijatuhkan. Bangkit setelah di buat tersungkur. Aku akan terus berdiri menghadapi dunia yang semakin kejam.

Jika keluarga kalian masih utuh, jaga, mereka, ya?


~~~

Di sudut ruangan yang gelap, teriakan bernaung

Di sudut ruangan yang gelap, isakan terbebas

Kita semua terlalu pandai menyembunyikan luka.

Meskipun, disaat yang bersamaan,

Kita terlalu pandai menjadi seolah yang paling menderita.

~~~

BERSAMBUNG

~Auzoraaaaa


Ketika Bintang Kehilangan CahayanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang