Chapter 22 : Ketika Bintang Kehilangan Cahayanya

47 3 1
                                    

"Gue ikut bahagia, Ra. Seneng banget liat lu kayak gini," ucapnya sambil mengaduk kopi susu yang baru saja mendarat dengan selamat di meja nomor empat.

"Thanks, Ya. Makasih juga udah selalu ada buat gue, makasih udah selalu ngeyakinin gue kalau gue nggak sendirian," jawabku, di depan kopi arabika. 

Kami memang berbeda selera soal rasa kopi, namun saat yang berbeda bisa berdampingan bahkan bermesraan, ketentraman akan begitu terasa. Bukan malah ego yang semakin berkuasa.

Kali ini cuaca begitu teduh, sedikit mendung tapi tak ada tanda akan turun hujan. Angin berhembus lembut, hingga siapapun pasti akan betah berlama-lama disini, sambil berbincang tentang segala apa yang dirasa.

"Soal masa depan?"

"Ah iya, alhamdulillah Ya. Insyaallah gue bisa kuliah! Ibu gue juga sudah gak kerja lagi. Bersyukur banget."

"Jadi lu ambil beasiswa ke Londonnya?"

Aku mengaggukkan kepala mantab.

"Yeay! Kita bisa sama-sama di London dong?"

"Loh? Lu juga?"

"Memang yang dapat beasiswa cuma lu doang? Siapa coba yang dulu juara satu bahasa Inggris? Menang telak lagi." Alya tertawa diakhir kalimatnya.

"Wah kacau kacau!" Kami tertawa bersama. Fakta Alya juga mendapatkan beasiswa sebenarnya cukup membuatku terkejut, karena ia tak pernah cerita sedikitpun. Namun aku bahagia sekaligus terharu, ia akan bersamaku lagi nanti, dengan cerita yang lebih panjang.

"Ya,"

"Iya?"

"Kabarnya Rendi bagaimana ya? Gue udah lost contact banget sama dia."

"Cieee, ada yang belum move on nih."

"Lu kira gampang buat move on begitu saja?"

"Ampun bu, saya masih polos."

"Ya... gimana ya, selain dia yang pertama, kenangannya sama dia udah banyak banget."

"Yeah, I know it's so hurt, but, I guess, Rendi ninggalin lu ada alasan lain deh. Soalnya, gue bisa liat Rendi itu juga sayang banget sama lu, Ra."

"Ya tapi nyatanya dia akhirnya juga ninggalin gue, Ya. Mana dia ninggalin gue pas gue lagi dititik terendah gue. Sakit."

"Tapi lu masih sayang kan?"

"Ya iyalah dodol, kalau nggak sayang, buat apa gue tanya kabar?"

"Iya juga ya."

"Terus menurut lu dia ninggalin karena apa?"

"Kenapa ya? Emm, enggak sih, gue cuma berusaha cari sudut pandang dari dia. Karena gue masih bingung juga sih, kok bisa dia ninggalin cewek se-perfect lu."

"Gue siram pakai kopi tahu rasa lu."

Sebenarnya, kata-kata Alya ada benarnya juga. Selama ini, aku hanya terlalu fokus dengan luka yang disematkan Rendi kepadaku, hingga aku tak pernah berpikir, apakah mungkin juga dia terluka saat pergi dariku?

Tak terasa, awan mulai jingga mulai hilang dari pandangan. Matahari malu-malu mulai undur diri. Aku dan Alya sudah harus pulang. Alya seperti biasa mengantarkanku pulang setelah tadi juga menjemputku saat berangkat.

"Gue jadi kang ojek lu mulu deh perasaan."

"Tapi lu sayang kan?"

"Dih."

Ketika Bintang Kehilangan CahayanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang