Hai haiii!
Happy reading :)
~~~
Rendi :
Udah siap belum?
Malam ini, aku sudah janji untuk pergi ke pasar malam berdua bersama Rendi. Kurang apa lagi coba? Malam, pasar malam, dan orang yang kau cintai, benar-benar kombinasi sempurna.
Rendi :
Gecee. Sudah di depan rumah kamu ini.
3 kali panggilan tak terjawab ditambah satu pesannya membuatku mempercepat langkahku. Segala pekerjaan rumah telah ku selesaikan sepulang sekolah tadi, juga, malam ini adalah malam minggu, jadi aku bisa bebas keluar asal tidak pulang larut malam.
Saat aku membuka pintu rumahku, betapa terkejutnya aku melihat sesosok laki-laki dengan rambutnya yang selalu berantakan itu ternyata hanya menaiki sepeda.
"Hai," sambutnya dengan senyuman.
"Loh, naik sepeda?" tanyaku keheranan.
"Sekali-kali, biar romantis, Ra. Hahaha."
Dialah Rendi, yang selalu penuh kejutan dan sulit ditebak. Sisi itu jugalah yang membuatku semakin nyaman dengannya. Tepat diatas ban belakangnya boncengan kosong yang siap ku naiki.
"Tumben bisa keluar, Ra?" tanyanya sambil mengayuh sepeda.
"Perjuangan banget tahu bisa keluar malam gini. Aku harus beresin semuanya pulang sekolah biar dapet izin dari ibu," jelasku.
"Hahaha."
"Dih malah ketawa, dasar."
"Abisnya kamu tambah cantik kalau lagi cemberut gitu."
"Gombal muluuu,"
"Biarin." Desiran di dadaku lewat begitu saja ketika dia memujiku. Antara malu dan senang.
Tiba-tiba dia berhenti di depan sebuah toko kecil.
"Mau beli apa, Ndi?"
"Tunggu disini ya." Aku mengangguk saja.
Ku lihat dia membeli beberapa camilan dan minuman, lalu menyerahkan sejumlah uang kepada ibu penjualnya.
"Itu pacarnya Mas Rendi ya? Kok gak disuruh milih jajan kesini juga?" ucap Ibu itu.
"Eh, iya bu, hehe," jawabku canggung.
"Dia bukan pacar saya bu," sahut Rendi.
"Terus siapanya dong?" tanya ibu penjual.
"Calon istri, Bu. Doain ya." Sontak ibu penjual itu tertawa, berbanding terbalik denganku yang menahan malu.
"Aamiin. Semoga dimudahkan ya, Nak." Ibu itu mengamini sambil tertawa. Rendi pun kembali ke arahku.
"Ih kamu apaan si," ujarku yang masih menahan malu bersamaan dengan pululanku ke punggung Rendi.
"Aduh, sakit tahu. Biarin, biar banyak yang doain kita," jawabnya meringis kesakitan sambil tertawa juga. Ia kembali memboncengku menuju pasar malam.
Sekitar sepuluh menit perjalanan dan saling berbincang ringan, kami sampai di pasar malam. Malam tak lagi gelap. Cahaya dari banyaknya lampu warna-warni membuat pasar malam terasa sangat menarik dari kejauhan. Setelah memarkir sepeda, kami masuk ke dalam pasar malam.
Para pedagang makanan, pernak-pernik, hingga permen kapas memenuhi pasar malam. Tak lupa dengan berbagai wahana yang tak sabar untuk ku naiki.
Sisi yang paling aku sukai dari pasar malam adalah, saat aku datang kesana, akan ku dapati wajah-wajah dengan senyuman lepas, tawa yang tidak ditahan, kebersamaan keluarga ataupun teman, seakan dari raut wajahnya mereka ingin bermain disana selamanya, bersama-sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketika Bintang Kehilangan Cahayanya
Teen Fiction[END] Aku, seorang anak sulung perempuan. Pelindung bagi kedua adik laki-lakiku. Penopang porak-porandanya hubungan orang yang paling aku sayangi, orang tuaku. Seisi dunia tak boleh melihatku lemah. Bahuku harus mampu menopang segala beban. Mesk...