Bukan pilihanku untuk cemburu. Dia datang tanpa ku undang. Dia akan pergi jika kamu yang membawanya bersama pelukan. Walau sebentar, tetapi berjuta makna.
______________________________________"Loh ada tamu." Suara itu membuat Moza menatap wanita paruh baya yang tengah menggandeng bocah laki-laki yang Moza kira berusia enam tahunan.
Moza bangkit, menghampiri wanita itu dan menyalaminya.
"Iya, Tante. Saya temannya Killa."
"Oalah, teman Killa. Ya sudah, duduk lagi saja. Ibu buatkan minum dulu."
"Eh, gak usah, Tante. Saya cuma mampir sebentar," ucap Moza tidak enak.
"Sudah, gak apa-apa. Kamu tunggu sebentar ya." Wanita itu berlalu meninggalkan Moza.
"Ibu sudah pulang?" Moza menatap Killa yang sudah berganti baju dengan pakaian santai.
"Udah." Killa duduk di samping Moza.
"Kamu mau minum apa?" tanya Killa.
"Ibu lo lagi ambilin. Gue gak enak banget," ucap Moza meringis.
Niat hati ingin bermain bersama Killa eh malah merepotkan keluarga Killa.
"Gak pa-pa. Lagian kalo ada tamu emang harus disambut dengan baik."
"Ini, diminum, Nak." Suara lembut itu membuat Moza tersenyum manis. Ternyata sifat Killa turun dari Ibu nya yang lemah lembut.
Andai saja mama dan papanya masih hidup, Moza akan merasakan kasih sayang yang begitu besar dari keluarganya. Moza tidak akan merasakan kesepian. Berbagai keandaian melintas di kepalanya.
"Kok melamun," tegur Ibu Killa menatap Moza lembut.
Moza menggeleng dengan mempertahankan senyumannya.
"Nama kamu siapa? Nama Ibu, Marini," ucap Bu Marini.
"Moza, Tante."
"Panggil ibu aja. Gak usah canggung begitu." Bu Marini terkekeh pelan.
"Iya."
"Oh iya, kamu satu kelas dengan Killa?"
"Iya, Bu. Moza ini juga salah satu anak yang berprestasi, Killa jadi punya saingan deh."
Moza tertawa mendengar Killa yang seolah sedang memuji dirinya.
"Wah, kalian harus belajar lebih giat untuk mencapai cita-cita kalian. Nak Moza, cita-citanya apa?"
"Em.... Moza belum kepikiran. Tapi penginnya jadi editor."
"Wah, sama seperti Killa." Moza menatap Killa tidak percaya.
"Iya. Aku juga pengin jadi editor. Nanti kita sama-sama belajar ya, Za," ucap Killa antusias.
"Nak Moza, kenal dengan Nak Artha?" Seketika Moza manatap Bu Marini dengan penuh tanya.
"Ibu kenal?" Bu Marini mengangguk.
"Dia sering ke sini."
"Bu," tegur Killa membuat Bu Marini tidak melanjutkan kalimatnya.
"Ya sudah. Ibu mau ke dapur dulu," pamit Bu Marini. Moza mengangguk.
Pertanyaan demi pertanyaan melintas di dalam kepalanya. Untuk apa Artha datang ke sini? Jadi selama ini Killa mengenal Artha? Sedekat apa mereka? Kenapa Killa tidak mengatakan bahwa mereka dekat? Sesering apa Artha datang ke sini?
Berbagai spekulasi membuat jantung Moza berdegup kencang seolah akan keluar dari rongga dadanya.
"Gak usah dipikiran omongan Ibu. Artha datang ke sini untuk membeli kue," jelas Killa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vanilla Latte
Teen Fiction"Tentang manis dan pahitnya hidup." Moza Varischa, siswi baru di SMA Andromeda. Pencinta cogan, tetapi gak cinta-cinta amat, kecuali dengan Artha. Pemilik hati yang gak pernah dipanasin alias beku. Penampilannya yang terlihat nerd tidak membuatnya...