Bab 4 - Kejutan

30 20 4
                                    

"Aku takut jika kebahagiaan yang kini aku rasakan, akan berakhir mengecewakan."
🍂🍂🍂

MALAM di keesokan harinya, aku kembali ikut latihan. Menyiapkan penampilan di Lailatus Selawat beberapa pekan yang akan datang. Mempunyai pelatih seaktif Kak Ilham, membuat kami terlatih untuk aktif dan disiplin. Meskipun acara masih lama, kami sudah siap sejak jauh-jauh hari. Oleh karena itu, kami kerap mendapat juara satu.

Suasana latihan yang biasanya selalu diisi dengan canda tawa, kali itu sama sekali tidak ada yang membuka suara. Irsya yang biasanya selalu berbicara meski tidak ada yang merespon, kali itu hanya diam saja. Saat aku tanya kenapa, dia justru memalingkan muka. Begitu pula dengan tiga teman perempuanku yang lainnya.

Tidak sampai di situ, Fatkhur dan kawan-kawan yang biasanya membuat gaduh, hanya diam. Mereka sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

Di luar tidak hujan, kipas angin pun juga tidak dinyalakan, tapi suasana di dalam ruang latihan itu terasa sangat dingin bagiku.

Kenapa sikap mereka semua berbeda? Apa karena beberapa hari aku absen tidak ikut latihan? Jadi mereka marah kepadaku?

Berbagai macam pertanyaan tak masuk akal mulai memenuhi pikiranku. Aku tidak bisa diperlakukan seperti itu. Jika aku ada salah, ya diingatkan. Kalau didiamkan seperti itu, mana aku tahu letak kesalahannya di mana?

Tiba-tiba aku kebelet ke kamar mandi. Setelah menarik napas panjang, aku menatap satu per satu teman-temanku.

"Guys, aku ke kamar mandi dulu, ya!"
Hening, tak ada satu orang pun yang menjawabnya. Aku hanya bisa tersenyum pedih, lalu bangkit dan melangkah gontai menuju kamar mandi. Sebelumnya, aku sempat berpapasan dengan Kak Ilham di ambang pintu. Ternyata dia juga sama, mengabaikanku. Dia justru membuang muka saat tanpa sengaja mata kami bertemu.

Di depan cermin kamar mandi berukuran sedang itu, aku menatap pantulan wajahku. Setetes air mata lolos dari pelupuk mataku. Sejak dulu, aku paling tidak bisa diperlakukan seperti itu. Aku sudah merelakan waktu untuk datang latihan, di tengah rasa sakitku yang belum sepenuhnya hilang. Namun, apa yang aku dapat? Sikap dingin dan acuh semua teman-temanku.

Setelah membasuh muka dan memastikan bahwa aku tidak terlihat seperti orang yang baru saja menangis, aku kembali masuk ke ruang latihan. Namun, di sana sepi. Ke mana teman-temanku pergi?

Tadi mengabaikan, sekarang meninggalkan. Baiklah, aku memutuskan untuk pulang saja. Daripada hatiku semakin sakit karena ulah mereka semua.
Kedua kaki lelah ini mulai berjalan menapaki satu per satu ubin masjid, tepat di ambang pintu keluar, semua lampu di masjid itu tiba-tiba padam. Aku mencoba untuk tidak panik, di sisa-sisa cahaya yang masih ada entah dari mana asalnya, aku berjalan pelan sembari meraba-raba depan. Takut-takut jika aku menabrak tembok.

Sampai akhirnya ....

Dorr!

Kakiku refleks mundur beberapa langkah, aku memegang letak jantung yang tiba-tiba berdetak lebih cepat.

Mabruuk alfa mabruuk ‘alaika mabruuk
Mabruuk alfa mabruuk ‘alaika mabruuk
Mabruuk alfa mabruuk yawm miiladik mabruuk

Seiring dengan dinyanyikannya lagu itu, satu per satu lampu kembali menyala. Teman satu timku berdiri dengan senyum yang mengembang lebar di setiap wajahnya. Aku masih mencerna semua, sebenarnya, ini semua apa maksudnya?

Irsya mendekat ke arahku, di tangannya ada nasi tumpeng sederhana yang sudah dihias sedemikian rupa. Entah kenapa matanya berkaca-kaca.

"Barakallah fi umrik, Mbak Lay," ucapnya.

Tunggu!

Bahkan aku lupa dengan hari lahirku sendiri. Ah, di situasi seperti itu, kenapa kedua mataku tidak bisa diajak kompromi. Kenapa pula rasanya panas sehingga aku ingin menangis.

"Maafin kami ya, Mbak. Sebenarnya kami juga enggak tega memperlakukan Mbak Lay seperti tadi, tapi itu sudah menjadi planning kita." Irsya melanjutkan. Sedangkan aku masih tetap diam, dari arah belakang Irsya, Kak Ilham berjalan lebih dekat ke arahku. Senyumnya mengembang lebar sekali. Sampai-sampai aku ikut tertular senyumnya, dan untuk pertama kalinya, aku menatap matanya lebih dari lima detik. Sebelum akhirnya, dehaman Fatkhur membuatku memutus kontrak mata itu.

"Barakallah fi umrik, Lay, maaf kalau sikap kita tadi menyakiti hati kamu. Sedikit pun tidak pernah terbersit di hatiku untuk menyakitimu."

"Ekhem!"

Kak Ilham tampak gelagapan, sepertinya ia sadar dengan ucapannya yang mampu membuatku terbang sampai langit ke tujuh. 'Tidak pernah terbersit di hatiku untuk menyakitimu', wah ... akan kupegang kata-katanya.

"Kamu mau, 'kan, maafin kita?"

🍂🍂🍂

Mereka mengajakku masuk lagi, duduk melingkar untuk menikmati nasi tumpeng yang katanya dipersembahkan untukku. Sebelum itu, mereka memaksaku untuk berfoto terlebih dahulu. Jika foto sendiri atau bersama teman perempuanku, tidak masalah, lah ini ...?

"Mbak Lay, ayolah, Kak Ilham udah nungguin itu!" Entah sudah berapa kali mereka berkata seperti itu. Kenapa juga Kak Ilham tidak menolak, wajahnya tampak tenang. Mereka tidak tahu apa, jika jantungku berdebar-debar, mungkin debarannya melebihi kerasnya darbuka si Fatkhur.
Akhirnya, entah mendapat dorongan dari mana, aku bangkit dan memenuhi permintaan mereka. Irsya tampak girang, dia menarikku agar lebih dekat lagi dengan kakaknya.

"Ini, Mbak Lay pegang yang sebelah kiri! Kak Ilham yang kanan."

Jadilah aku dan Kak Ilham memegang nampan yang sama. Dia tersenyum ke arah Habib yang sudah memegang kamera.

"Mbak Lay, senyum dong!" Fatkhur meneriaki.
Setelah aku foto berdua dengan Kak Ilham, kami semua foto bersama dengan berbagai gaya. Setelahnya, dilanjutkan dengan pemotongan tumpeng, mereka kembali heboh perihal potongan pertama. Hei ... ini nasi, bukan kue yang seperti di film-film itu.

"Buat Kak Ilham dong!" seru Fatkhur yang entah sejak kapan ada di sampingku.

Aku hanya menimpalinya dengan senyuman, lantas meletakkan piring yang sudah lengkap dengan lauk pauknya itu di meja.

"Buat yang mau aja sih," kataku.
Mereka semua diam dengan pandangan yang menyorot lurus pada Kak Ilham yang tengah asyik dengan benda elektronik panjang di tangannya. Sebenarnya sejak tadi dia chatingan sama siapa sih? Orang aku aja enggak bawa handphone.

Astaghfirullah, sadar diri, Lay!

"Mas Ilham, itu nasinya, spesial dari Mbak Lay." Fatkhur menyodorkan, dan ... respon yang Kak Ilham berikan sungguh di luar dugaan. Segera dia meletakkan benda canggih itu dan meraih piringnya. Kalau kayak gini, siapa yang tidak terbawa perasaan oleh perilakunya?

Setelah nasi seloyang itu habis, seseorang menyodorkan sebuah kotak berukuran sedang kepadaku, senyumnya sedikit mengembang. Dari sekian banyak orang yang ada, kenapa harus Kak Ilham yang melakukannya?

"Buat kamu, Lay. Semoga suka, ya," katanya yang membuatku menatap tajam Irsya dan Icha yang sudah cekikikan tidak jelas.

"Apa ini, Kak?"

"Nanti aja kamu buka di rumah!"

"Sekarang, bisa kita bicara sebentar? Berdua saja, di luar," lanjutnya yang membuatku membuka mata semakin lebar.

Dear MuazinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang