Bab 16 - One day, Before Contract

16 4 3
                                    

"Kata orang, puncak mencintai paling tinggi adalah mengikhlaskan."

🍂🍂🍂

Sembilan belas hari kemudian ....

Menjelang hari di mana Kak Ilham akan melepas masa sendirinya, aku semakin sibuk. Sibuk untuk menampilkan yang terbaik di acaranya nanti. Aku sudah bertekad, apa pun yang terjadi besok, aku harus kuat. Irsya tak pernah lelah untuk menguatkanku, dia selalu menceritakan tentang aib Kak Ilham. Dia bilang, agar aku tidak menyesal karena tidak bisa menjadi pendampingnya.

Setiap ba'da isya aku dan teman-temanku latihan sampai larut malam. Itu semua dilakukan untuk memeriahkan acara sang mantan pelatih. Selama itu pula aku mencoba tegar, walau aslinya ambyar.

"Mbak Layla, gamis seragam yang dipakai besok udah siap?" tanya Indah. Dia menemaniku duduk di teras masjid. Bukan, lebih tepatnya aku yang menemani dia menunggu jemputan kakaknya. Icha dan Via sudah pamit undur diri sejak latihan selesai.

"Sudah."

"Besok aku jemput ya, Mbak!"

"He'em."

Setelahnya, kami hanya diam. Mungkin Indah tidak berani bertanya lagi, karena setiap pertanyaan yang dia lontarkan hanya aku jawab 'hmm'. Entah kenapa, malas sekali berbicara.

Indah segera bangkit ketika motor kakaknya sudah terlihat di pagar masjid. Aku pun mengikutinya.

"Mbak, aku duluan, ya!" ucapnya seraya melambaikan tangan.

"Hati-hati," balasku berusaha menampilkan senyum saat kakaknya Indah membersitkan senyum tipis untuk menyapaku.

Setelah motor indah tidak nampak, aku segera bergegas pulang. Sebenarnya, Bu Rina memintaku untuk bantu-bantu di rumahnya. Namun, dengan lembut aku menolak, dengan dalih aku sibuk mempersiapkan diri untuk tampil besok. Syukurlah, beliau memakluminya.

Berjalan di bawah gelapnya malam tanpa bintang, itulah yang aku rasakan sepulang dari latihan malam itu. Berjalan sendiri tanpa ada yang menemani. Sampai sebuah lampu motor menyorot di sebelahku, saat aku menoleh, lampunya sudah dimatikan. Ternyata Mas Arka, dia berhenti di sampingku.

"Ada yang bisa saya bantu, Mas Arka?"

"Enggak." Dia turun dari motor Genio merahnya.

"Saya tidak tega melihat kamu sendirian malam-malam begini."

Aku mengerutkan kening, memangnya kenapa? Aku sudah biasa seperti ini. "Saya sudah biasa, Mas. Setiap pulang latihan saya selalu pulang sendiri."

Mas Arka hanya tersenyum. "Mari," ajaknya.

"Ke mana?"

"Kamu mau pulang, 'kan?"

"Tapi ...."

"Saya tahu, kamu pasti menolak kalau saya bonceng."

Sudah pasti itu.

Mau tidak mau aku mengikuti langkah Mas Arka. Dia tidak menyalakan motornya, melainkan menuntunnya.

"Masih jam segini, tapi udah sepi banget ya?" tanyanya di sela-sela langkah kami yang terbilang lambat.

"Iya, barisan sini beda sama barisan masjid, Mas. Kalau sini, jam setengah sembilan pasti udah sepi."

Mas Arka sedikit memelankan jalannya, ia mendongak. Entah melihat apa, aku tak tahu.

"Langit malam tanpa bintang, enggak enak dipandang ya?" ucap Mas Arka tiba-tiba.

"Nggak boleh gitu dong, Mas. Semua kan atas kehendak Allah."

"Emm ... gimana ya? Tapi saya beneran nggak suka liatnya."

"Kenapa emang?"

"Rasanya hampa."

Aku hanya diam. Karena bingung mau menjawab apa. Karena menurut aku, topik pembicaraan Mas Arka kali in sedikit i membingungkan.

"Jadilah seperti langit pagi, meskipun tidak ada bintang yang menghiasi, dia tetap cerah dan indah!"

"Maksudnya?" Kenapa Mas Arka mendadak jadi sok bijak?

"Saya perhatikan, malam ini wajah kamu seperti langit malam tanpa bintang."

"Kenapa?" Mas Arka menjeda ucapannya, dia menoleh ke arahku. Namun, aku tetap melihat lurus ke depan. "Kamu ada masalah? Kalau ada masalah diselesaikan. Karena sejauh apa pun kamu berlari, masalah akan tetap mengikutimu!"

Aku tersenyum hambar. Jika masalahnya seperti masalahku, bagaimana cara menyelesaikannya? Dia, yang menjadi pelabuhan hatiku, besok sudah menjadi milik orang lain.  Dia, yang aku harapkan menjadi nakhodaku, akan menjadi supir untuk perahu lain.

Sesakit inikah, berharap kepada manusia? Ah, harusnya aku selalu ingat dengan surah Al Insyirah ayat 8 yang artinya:

"Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap."

Harusnya dari awal aku membentengi diriku agar tidak jatuh kepada orang yang salah.

"Lay?" Panggilan Mas Arka membuatku ke luar dari lamunan singkatku. Dia tidak lagi memanggilku dengan embel-embel 'Mbak', karena aku berkata jika usiaku ada di bawahnya. Mengenalnya sudah lebih dari dua minggu membuatku tahu beberapa sifatnya. Ternyata dia adalah orang yang asyik, ramah, dan juga humoris.

"Eh, iya. Mas Arka anterin sampai sini aja!"

"Rumah kamu masih di depan sana, 'kan?"

"Iya, udah dari sini aja nggak apa-apa." Bukan apa-apa, aku hanya tidak ingin ada tetangga yang mungkin saja masih terjaga dan melihatku diantar pulang oleh seorang laki-laki. Meskipun tidak boncengan sih, tapi yang namanya ucapan tetangga, biasanya lebih pedas dari berkilo-kilo cabai.

"Entar dikira saya laki-laki yang nggak gentle lagi, masa nganterin cuma sampai depan gang."

Aku tertawa mendengar jawaban Mas Arka. "Di sini nggak ada gang, Mas."

"Ini beneran, sampai sini aja?"

"Iya, terima kasih banyak ya."

"Sama-sama. Ya sudah, saya pulang dulu, ya?"

Mas Arka memutar motor Genio merahnya, setelah menekan klakson dan mengangguk, dia segera melaju.

Rasanya biasa saja, tidak ada debaran yang menggila di dalam sana. Beda seperti saat aku berinteraksi dengan Kak Ilham.

Setelah menarik napas panjang, aku melangkahkan kakiku ke rumah. Sepi, Mas Alfan sudah kembali ke Malang. Sedangkan ayah dan ibuku di rumah Kak Ilham, membantu di sana.

Sampai jam menunjukkan pukul setengah dua belas, aku masih terjaga. Membayangkan apa yang akan terjadi, saat esok aku menyaksikan Kak Ilham mengucap ijab qobul untuk orang lain.

Mengikhlaskan, mungkin satu kata itulah yang harus mulai aku tanamkan sejak nakhoda yang aku impikan mengendalikan perahu lain yang sudah beda tujuan.

🍂🍂🍂

Terima kasih sudah membaca!
Semarang, 26 Juni 2022

Dear MuazinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang