Bab 7 - Kenyataan yang Menyakitkan

32 22 17
                                    

"Mencintai tidak harus memiliki, bukan? Lantas, kenapa masih ada rasa sakit saat tahu dia yang dicintai sudah menetapkan perasaan di lain pelabuhan?"

🍂🍂🍂

Setiap kali mendengarkan selawat, seolah-olah semua masalah menghilang. Hatiku terasa damai saat melihat pemandangan seperti itu. Tim putra sedang tampil di salah satu acara pernikahan tetangga kami. Hanya saja, kali ini yang tampil hanya tim putra, kami tim putri hanya mendukung saja.

Riuh tepuk tangan para tamu undangan terdengar menggema saat Kak Ilham menyanyikan lagu 'Ya Habibal Qalbi'. Aku jadi teringat saat kami berdua duet. Setelah ini, masih bisa duet lagi nggak ya? Mengingat sikap Kak Ilham masih tetap sama. Dingin, seperti es krim yang biasa dijual di warung dekat lapangan.

"Mbak Lay?" Irsya memanggilku setelah membuang kulit pisang yang ke sekian. Pantas saja itu anak ngomongnya banyak, orang makanannya pisang.

"Hmm?"

"Foto yuk, sama tim putra juga!"

Sampai-sampai aku tidak sadar jika Kak Ilham dan kawan-kawan sudah turun dari panggung. Sekarang sudah siap berdiri di sebelah kanan mempelai pria. Aku dan ke empat temanku segera menata barisan berdiri di sebelah kiri Mbak Dina, selaku mempelai wanita. Aku terkagum-kagum melihat Mbak Dina, cantik sekali..

Dengar-dengar mereka berdua tidak pacaran. Menurut gosip ibu-ibu yang biasa mangkal di rumahku, suaminya Mbak Dina ini merupakan hafiz Quran juga. Subhaanallah. Betapa beruntungnya kamu, Mbak.

Setelah sesi foto selesai, kami menyalami kedua mempelai.

"Selamat ya, Mbak! Semoga samawa," ucapku kepada Mbak Dina.

"Aamiin, terima kasih, Lay. Semoga kamu segera nyusul!" balas Mbak Dina membuat Irsya yang berdiri di belakangku tertawa.

"Masih lama, Mbak, belum ada bekal." Lagi-lagi Irsya tertawa.

"Belum ada bekal apa belum ada pasangannya?" Mbak Dina membalas lagi.

Jleb! Kata-katanya menancap tepat di ulu hati. Namun, itu semua memang benar sih.

"Dua-duanya, Mbak," sahut Irsya.

"Irsya, kamu juga, kapan? Udah hampir dua puluh tahun, 'kan?"

Rasain kamu. Kali ini aku yang tertawa, senjata makan tuan enggak tuh?

"Mbak Dina mah ...."

🍂🍂🍂

"Nanti jangan langsung pulang ya, mampir dulu ke masjid. Ada yang mau aku sampaikan," ucap Kak Ilham. Dia berdiri satu setengah meter di hadapanku. Meskipun begitu, aku sama sekali tidak menatapnya.

"Siap, Kak," jawab Via mewakili yang lain.

Setelah Kak Ilham pergi, barulah aku mendongak dan bertanya kepada Irsya.

"Ada apa, Sya?"

"Aku nggak tahu, Mbak, dari kemarin aku perang dingin sama Kak Ilham," jawab Irsya tampak tak berselera.

"Lah ... emangnya kenapa?" Dari tempatnya duduk, Icha menyahut dengan heboh.

"Nggak tau, sebel aja sama dia. Nggak konsisten banget jadi cowok."

Melihat raut tak mengenakkan Irsya, semua tidak ada yang berani menyahut lagi, kami kembali fokus dengan makanan yang dihidangkan.

Pulangnya, kami berjalan berlima, karena lokasi masjid dan tempat acara tidak begitu jauh. Saat melewati rumah kosong yang dulunya milik Pak Kasun, tiba-tiba Irsya dan Via merapat ke arahku. Begitu pula Icha dan Indah yang di belakangku.

Dear MuazinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang