Bab 8 - Perihal Jodoh

26 14 4
                                    

"Tak perlu risau, jodoh sudah diatur. Bahkan jauh sebelum manusia lahir ke dunia."

🍂🍂🍂

Apa yang baru saja Kak Ilham katakan bagaikan granat yang meledak tepat di telingaku. Apa dia bilang? Menikah? Benarkah?

Apa mungkin itu yang akan Kak Ilham katakan saat di lapangan beberapa waktu lalu? Apa mungkin itu juga yang membuat dia akhir-akhir ini murung? Ah, tapi mana ada? Seharusnya orang yang akan menikah ekspresinya bahagia, tetapi, kenapa Kak Ilham justru sebaliknya?

Namun, satu hal yang masih menjadi pertanyaan besar bagiku. Jika tadi dia bilang rahasia, kenapa justru aku harus tahu hal ini?

Sekuat mungkin aku menahan gejolak di dada dan air mata. Aku berusaha untuk tersenyum meskipun sulit. Kutolehkan kepala, menatap sekilas pada manik matanya yang terlihat gusar.

"Kapan, Kak?"

"Satu bulan lagi."

"Kalau boleh tahu, kenapa aku harus tahu akan hal ini?" tanyaku pada akhirnya. Aku tidak bisa memendam rasa keingintahuanku lebih lama lagi.

"Karena kamu adalah vokal utama, jadi kamu yang paling sering berinteraksi dengan pelatihnya."

Bukan jawaban yang aku inginkan. Aku kira ada hal lain yang menjadi alasannya, ternyata tidak. Baiklah ... selama kamu belum mengucapkan ijab qabul untuk istrimu, aku akan berjuang di sepertiga malamku.

Salah?

Aku rasa tidak, karena kita hanya berencana. Sedangkan Allah yang menentukan semuanya.

Pernikahan Kak Ilham masih direncanakan, belum dilakukan. Jadi masih ada harapan, meskipun sekecil buih di lautan.

"Lay?" Panggilan Kak Ilham membuatku menarik diri dari lamunan sungkatku.

"Iya?"

"Kamu baik-baik saja?"

"Kenapa aku harus tidak baik-baik saja? Ikut bahagia atas kebahagiaan orang lain tidak salah bukan?" tanyaku seraya mengukir senyum, bukan senyum manis, melainkan miris.

Kak Ilham hanya diam, mungkin dia tidak tahu harus merespon seperti apa.

"Kalau gitu aku pulang dulu, Kak. Semoga dilancarkan sampai akad. Assalamualaikum."

Tanpa menunggu jawaban Kak Ilham, aku segera berlari menjauh, air mataku sudah mengalir deras. Kenapa aku tidak rela?

Jika memang dia bukan jodohku, aku bisa apa selain mendoakan yang terbaik untuknya?

"Lay? Kamu kenapa?"

Sampai di rumah, ibu menatapku aneh saat melihatku menangis. Tanpa menjawab pertanyaan, aku segera masuk ke kamar dan membanting pintu kuat-kuat.

Lafaz istighfar aku lantunkan berkali-kali berharap tangis ini berhenti, tetapi justru sebaliknya. Air mata itu terus menetes tanpa mau berhenti. Rasanya sungguh menyakitkan sekali.

Kuraih ponselku yang berdering, ternyata ada panggilan dari Irsya. Aku membiarkannya, aku yakin jika dia juga sudah tahu hal ini. Apa mungkin ini juga yang membuat dia murung akhir-akhir ini. Mengingat dia begitu ambisius menjadikan aku sebagai kakak iparnya.

Panggilan dimatikan, lalu berbunyi lagi. Begitu terus sampai lima kali. Karena kasihan, aku pun menjawabnya.

"Halo, assalamualaikum, Mbak?" Suara Irsya terdengar serak dari seberang sana. Apa mungkin dua juga habis menangis?

"Waalaikumussalam." Aku hanya menjawabnya di salam hati. Bahkan sekadar hanya untuk bersuara saja sulit rasanya.

"Kak Ilham ngomongin apa aja Mbak?"

Aku hanya diam, tanpa menjawab pun aku yakin Irsya tahu.

"Mbak?"

"Mbak marah sama aku?"

"Asal Mbak tahu, aku juga nggak mau Kak Ilham menikah sama orang lain. Aku maunya Kak Ilham sama Mbak Lay. Ini semua permintaan ayah, Mbak. Ayah menjodohkan Kak Ilham dengan anak temannya. Awalnya Kak Ilham ingin menolak, tapi karena terus-terusan dibujuk, akhirnya dia luluh juga. Aku kesel banget Mbak sama dia. Dia bilang nggak cinta sama anak temen Ayah. Tapi kenapa diterima."

Irsya benar-benar menangis di akhir ceritanya. Lalu, sebenarnya siapa yang Kak Ilham sukai?

"Sebagai sesama perempuan, aku tahu gimana perasaan kamu, Mbak. Meskipun Mbak Lay enggak pernah cerita, tapi aku tahu kalau Mbak suka sama Kak Ilham. Semua terlihat jelas, Mbak."

"Mbak, jawab aku!"

"Mbak ...."

Aku tidak mau mendengar semua kenyataan ini lagi, karena itu semua terlalu menyakitkan untukku. Aku matikan secara sepihak telepon Irsya, lalu mematikan daya ponsel itu. Entah, kapan aku akan mengaktifkannya lagi. Rasanya aku benar-benar malas, karena selain dari Irsya, ada sepuluh pesan dari Kak Ilham yang entah isinya apa.

Sekarang, apa yang harus aku lakukan?

Berjuang, atau melupakan?

Atau justru berjuang untuk melupakan?

🍂🍂🍂

"Yah, katanya Ilham mau menikah loh." Ibu membuka bicara saat kami bertiga tengah menikmati sarapan. Aku tak berani mengangkat kepala, dengan keadaan mata yang mungkin sudah sebesar bola bekel, ayah pasti berpikir yang macam-macam tentang alasan yang membuat aku menangis.

"Loh, kapan?" balas ayah yang terlihat antusias dengan pembahasan tentang Kak Ilham. Sejak dulu ayah dan ibu memang sering membicarakan tentang beberapa kelebihan Kak Ilham.

"Kemarin malam dia lamaran."

Apa? Kemarin malam? Itu artinya saat kami latihan habis magrib, dikarenakan Kak Ilham akan ada acara. Apa mungkin acaranya adalah lamaran itu?

"Terus-terus, calon istrinya bagaimana?"

"Katanya sih, cantik, pintar, anaknya ...."

Tanpa sepatah kata, aku meninggalkan meja makan begitu saja. Nasi pecel yang biasanya selalu menjadi makanan favoritku, terasa hambar seketika.

Beberapa menit kemudian, pintu kamarku dibuka oleh seseorang. Sosok ibu masuk dengan senyum cerahnya. Ibu ikut duduk di tepi tempat tidurku.

"Kamu kenapa?" tanyanya lembut. Kenapa aku baru sadar, sebaik apa pun kita berusaha menyembunyikan masalah, sosok seorang ibu tidak akan pernah bisa ditipu.

Bukannya menjawab, aku justru berbaring, menjadikan paha ibu sebagai bantalannya. Setetes kristal bening itu kembali meluncur lagi dari pelupuk mataku. Aku memejam, menikmati elusan lembut ibu di kepalaku.

"Ibu tahu, cinta datang karena terbiasa bertemu, dan mungkin itu pula yang sedang kamu rasakan. Ibu tahu, kamu suka, kan, sama Ilham?"

Aku sudah menebak ibu akan berbicara seperti ini, dan mungkin diamku sudah menjawab semuanya.

"Lay, jodoh, rezeki, mati, sudah diatur. Jika memang dia bukan jodohmu, Allah pasti sudah menyiapkan ganti yang jauh lebih baik. Kamu enggak lupa, kan, dawuhnya Mbah Yai Djamal? Apa pun yang terpisah darimu, pasti ada gantinya. Ibu rasa itu tidak hanya berlaku pada kematian, tapi juga jodoh."

Namun, apakah aku sanggup saat nanti setiap hari melihat Kak Ilham bersama istrinya? Sedangkan rasaku padanya sudah tertanam dalam, sulit untuk dihilangkan.

"Sekarang mandi sana! Anterin Ibu ke pasar, ayah kamu udah berangkat."

Ibu tetaplah ibu, meskipun aku nangis guling-guling sekali pun, ibu tak pernah absen untuk menyuruhku.

Dear MuazinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang