Bab 9 - Arka

26 11 3
                                    

"Perhatian, atau hanya sekadar kasihan, dua hal yang sering disalahartikan."

🍂🍂🍂

Layaknya bunga yang tidak pernah disiram pada saat musim panas. Wajahku terlihat layu, kedua mataku masih sembab. Bagaimana ini? Masa iya aku harus datang ke acara latihan dalam keadaan seperti ini? Apalagi nanti ada pelatih baru pula.

Aku sengaja tidak salat jemaah di masjid seperti biasa, itu semua karena aku ingin menghindari Irsya dan kakaknya. Entahlah! Aku bingung mengekspresikan perasaanku sendiri. Padahal mereka tidak salah, tapi kenapa aku malah ingin menjauhinya.

Aku memakai celak untuk mengurangi pucat di wajahku. Memang, aku jarang sekali memakai benda itu, kecuali pada saat kami akan tampil banjari.

"Lay, naik motor aja, kayaknya nanti mau hujan," kata ayah saat aku pamit hendak berangkat. Mungkin guntur yang sudah menggelegar yang membuat ayah menduga bahwa nanti akan turun hujan.

"Enggak usah, Yah, entar malah ribet kalau naik motor. Kalau jalan kan enak, tinggal lari."

"Ya udah, terserah kamu aja."

Saat aku berpamitan dengan ibu, sekali lagi beliau meyakinkan bahwa aku yakin ikut latihan kali ini. Mungkin ibu tahu betul posisi yang sedang aku alami, bertemu dengan orang yang kita sukai memang menyenangkan. Namun, mungkin lain lagi jika orang yang kita sukai itu akan menjadi milik orang lain.

"Enggak apa-apa, Bu, doain aja, semoga pelatih barunya nanti lebih tampan dari Kak Ilham," kataku sebelum benar-benar ke luar dari rumah.

Setelah aku sampai di masjid, suasananya sudah ramai. Semua teman-temanku sudah hadir. Tidak hanya tim banjari saja, tetapi juga ada tim habsyi. Jadilah suasana masjid dua kali lebih ramai dari biasanya.

Karena dari semua orang itu didominasi oleh anak laki-laki, jadilah kepulan asap rokok ada di mana-mana. Di teras ada lima orang yang merupakan bagian dari anggota tim habsyi. Sedangkan suara gelak tawa Fatkhur, terdengar menggema dari arah dalam. Dasar itu anak, tidak tahu tempat sekali. Sudah tahu di masjid, masih aja tertawa keras sekali.

"Baru datang, Mbak?" tanya Ridho, dia adalah vokal dua di tim habsyi. Kalau tidak salah dia adalah teman sekelas Fatkhur, pantas saja dia memanggilku 'Mbak'.

Aku hanya menjawabnya dengan senyuman. Namun, dalam hati menggerutu tak jelas. Sudah tahu aku baru datang, masih nanya lagi. Pasaran banget basa-basinya.

Kegaduhan mereka semua di dalam seketika berhenti saat aku masuk sembari mengucap salam. Tanpa memedulikan tatapan aneh mereka, terlebih Irsya, aku segera mengambil duduk di sebelah Via.

"Tumben Mbak Lay baru berangkat?" tanya perempuan berwatak kalem tersebut.

"Masih sibuk, hehe," jawabku berusaha tersenyum.

Jika kemarin-kemarin Irsya dan Kak Ilham yang banyak diam, maka hari ini adalah aku yang banyak diam. Bahkan aku mengabaikan Irsya yang sedari tadi menatapku.

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, tidak ada orang asing di sana. Lalu, di manakah pelatih baru itu berada? Namun, sosok Kak Ilham juga tak nampak di sana. Apa mungkin dia masih menjemput pelatih baru itu?

Tak lama kemudian, semua anak yang tadi di luar, berbondong-bondong masuk. Pandanganku terhenti pada dua sosok yang masuk paling akhir. Kak Ilham, dan ... pelatih barunya, mungkin. Aku merasa tidak asing dengan wajah itu, tetapi sekuat apa pun aku mencoba mencari rekaman wajah itu di memori ingatanku, aku tetap tidak bisa ingat dia siapa.

Dear MuazinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang