Bab 5 - Ada Apa Ini?

35 20 8
                                    

"Manusia memang selalu meminta untuk dipahami, tapi, terkadang mereka lupa untuk memberi pemahaman."
🍂🍂🍂

Di antara keheningan malam, aku masih terjaga, membuka dengan hati-hati kotak yang tadi Kak Ilham berikan. Saat dia mengajakku berbicara berdua di luar, euforiaku sudah naik melebihi batas normal. Namun, lagi-lagi aku kembali jatuh ke dalam lubang kekecewaan karena harapanku sendiri.

Aku kira dia akan mengatakan sesuatu yang membuatku berbunga-bunga. Nyatanya, dia hanya memberikanku hadiah kotak yang lebih kecil dari yang tadi. Entah isinya apa, aku masih belum berniat untuk membukanya.

Aku lebih dulu membuka kotak pertama yang Kak Ilham berikan. Gamis abu-abu dipadu warna putih yang masih terbungkus plastik menjadi pemandangan pertama saat kotak itu sudah sempurna terbuka. Di bawahnya ada dua jilbab persegi dengan warna yang berbeda.

Di sana juga terselip secarik kertas yang tertulis sebuah ucapan;

Barakallah fi Umrik:)
—Tim Banjari Ar Rahman

Aku menutup kembali kotak itu, lalu beralih membuka kotak yang Kak Ilham berikan. Dengan jantung yang berdebar, aku membukanya dengan penuh kehati-hatian.

Sesaat, aku terperangah saat mengetahui isinya. Setiap hal pasti ada alasannya bukan? Begitu pula maksud Kak Ilham memberiku ini. Dia pasti punya alasan tersendiri. Saat kuangkat benda itu, ada sebuah kertas yang dilipat menjadi empat di bawahnya. Dengan segera aku membuka dan membacanya.

Setiap orang mungkin mempunyai alasan berbeda yang membuat hatinya terluka, dan mempunyai cara yang berbeda pula untuk menyembuhkannya.
Namun, aku rasa hanya ini obat yang paling ampuh untuk sebuah luka. Terlebih luka yang tak kasat mata. Jika suatu hari nanti hatimu terluka entah karena apa dan siapa, ketahuilah, Lay, hanya ini obatnya.

Barakallah fi Umrik, semoga bermanfaat (:

Hatiku begitu tersentuh setelah membaca deretan kata itu. Mungkin memang benar, bahwa Alquran adalah obat dari luka yang tak terlihat mata. Aku meletakkan Kalam Suci itu di rak buku paling atas, bersama dengan buku-buku tebal lainnya yang sebagian besar berisi tentang kisah-kisah seputar Islam. Namun, parah sekali, buku-buku itu hanya aku jadikan koleksi tanpa pernah membacanya walau sekali.

Astaghfirullah, aku sadar, ilmu agamaku masih jauh dari kata baik. Namun, kenapa saat berusaha untuk berubah, rasanya sungguh susah? Rasanya aku memang benar-benar harus berhenti mengharapkan Kak Ilham yang jelas-jelas berbeda jauh denganku dari segi ilmu.

Malam hari itu, waktu berjalan begitu cepat menurutku, sampai aku tidak sadar jika baru terlelap tepat pada pukul setengah dua dini hari.

🍂🍂🍂

Paginya, setelah salat subuh berjemaah di musala depan rumah, aku bersiap untuk jalan pagi bersama Irsya. Ya, aku hanya berjemaah di masjid saat Magrib dan Isya saja, selain karena dilanjutkan dengan latihan banjari, juga karena biasanya ada kajian oleh pemuka agama usai salat Magrib.

"Ya Allah, Layla, airnya udah tumpah semua itu! Kenapa masih kamu tuang?" Suara ibuku yang terdengar menggelegar membuatku mengerjap berkali-kali. Setengah meja itu sudah basah karena air kopiku, astaghfirullah, jadi aku ngelamun?

"Mikir apa sih? Udah ditunggu Irsya di depan," beritahu ibu yang membuatku buru-buru meminum kopi itu setelah lebih dulu mengelap meja.

Dear MuazinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang