Bab 10 - Tuduhan

23 12 4
                                    

"Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya."

(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 185)

🍂🍂🍂

Akibat malam itu kehujanan, keesokan harinya aku terkena demam. Tidak ada aktivitas lain selain rebahan. Ibu memang tidak pernah menyuruhku ini-itu ketika aku sakit. Beliau hanya memintaku makan dan minum obat.

Sesimpel itu?

Aku harus bersyukur karenanya.

Karena bosan, aku beranjak, membuka jendela kamar yang langsung menyuguhkan pemandangan tanaman samping rumah. Jam masih menunjukkan pukul setengah tiga sore, tapi langit sudah gelap karena tertutup awan mendung. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.

Belum tentu sih!

Mendung tidak selalu hujan, hujan pun tidak selalu diawali mendung.

Seperti halnya cinta, tidak selamanya saling cinta akan berakhir bersama. Adakalanya kita harus rela, karena dia memang bukan jodoh kita.

Jodoh?

Aku jadi teringat Kak Ilham, dia sudah dijodohkan, dan sebentar lagi akan menikah. Aku memang tidak mau berharap banyak, tetapi aku tidak bisa menampik jika aku masih mencintainya. Bahkan dengan lancangnya, aku meminta kepada Allah di sepertiga malamku agar aku bisa berjodoh dengan Kak Ilham.

Padahal sudah jelas hal itu tidak mungkin. Sebenarnya masih mungkin sih, jika Allah berkehendak. Meskipun harapannya hanya nol koma satu persen.

Sudahlah, aku pasrah!

Aku segera keluar kamar saat mendengar suara gaduh. Ternyata ada ibu-ibu yang suka mangkal di rumahku. Namun ada yang aneh, mereka dandan terus bawa ember juga. Ada apa ini?

Karena kepo, aku bertanya kepada Bu Asti. Dia adalah ibunya Mbak Dina yang beberapa hari lalu menikah. Jawaban yang dia berikan membuatku kaget setengah mati. Aku menggeleng berkali-kali.

Tidak, itu tidak mungkin. Jika memang hal itu benar, kenapa aku tidak dengar beritanya dari toa masjid? Aku harus memastikannya sendiri, aku segera mengambil jilbab, dan menyusul ibu-ibu yang sudah berangkat.

"Lay? Kamu di rumah saja, kamu masih sakit!" cegah ibu saat mengetahui keberadaanku.

"Enggak, Bu, kasihan Irsya. Dia pasti sedih. Dia pasti butuh aku." Aku melangkah secepat mungkin, mendahului mereka. Aku harus segera sampai ke rumah Kak Ilham.

Ternyata benar, rumah yang didominasi warna hijau itu sudah ramai dengan makhluk yang bernama manusia. Aku berjalan gontai menuju ke ruang di mana Irsya tengah menangis hebat di samping tubuh ayahnya yang sudah terbujur kaku. Di sebelahnya ada Kak Ilham yang ekspresinya tak jauh beda dengan Irsya. Sesekali ia mengusap kedua matanya yang tampak berair.

Aku melangkahi beberapa orang agar bisa sampai ke tempat mereka. Kupegang pundak Irsya untuk menguatkannya.

"Sya," panggilku pelan sekali.

"Mbak." Dia menoleh, kedua matanya jelas terlihat bengkak, beberapa helai rambutnya keluar dari jilbab yang aku yakin ia kenakan secara asal-asalan. Aku ikut menangis melihat keadaan Irsya yang seperti itu. Aku jadi merasa bersalah karena kemarin sempat mengabaikannya. Aku mencoba menenangkannya dengan cara memeluknya, tetapi belum sampai hal itu terjadi, seseorang lebih dulu menarikku ke belakang.

"LAYLA!" Seiring dengan teriakan itu, aku merasa setengah wajahku panas karena tamparan keras yang baru saja aku dapatkan.

Sosok Bu Rina, ibu kandung Irsya dan Kak Ilham itu menatapku dengan kobaran kemarahan dan kebencian yang tampak nyata. Tanpa aku menoleh pun, aku yakin jika saat itu semua mata tengah memperhatikan kami. Bahkan lantunan Surah Yasin yang para pelayat lantunkan, mulai terdengar melirih.

Bu Rina masih tak mengeluarkan sepatah kata, tetapi sebelah tangannya terangkat hendak menamparku lagi. Aku hanya bisa memejam rapat-rapat, sampai akhirnya ... tanganku ditarik ke belakang oleh seseorang.

Tamparan keras itu menggema bersama gaungan Surah Yasin yang semakin mengecil suaranya. Aku membuka mata, melihat siapakah sosok yang rela menggantikan wajahnya sebagai sasaran dari tamparan Bu Rina.

Sesaat aku tercengang, sedangkan Bu Rina tampak syok sembari menatap sendu tangan kanannya.

"Il-Ilham?" lirihnya pilu.

Di dalam hati aku terus bertanya-tanya, kesalahan besar seperti apa yang telah aku lakukan sampai-sampai Bu Rina yang terkenal dengan watak lemah lembutnya menamparku di depan banyak orang?

Seiring dengan bisikan beberapa orang di sekitarku, air mata ini terus keluar dengan sendirinya. Bagaikan ada batu besar tak kasat mata yang menghantam dada. Rasanya sakit sekali diperlakukan seperti ini.

"Cukup, Bu, Layla tidak bersalah di sini." Kak Ilham berujar begitu lirih. Namun, tatapan Bu Rina yang mengarah kepadaku justru semakin menakutkan.

"Kamu senang, kan, Lay? Anak saya lebih membela kamu daripada ibu kandungnya sendiri," kata ibu kandung Kak Ilham itu dengan air mata yang berderai.

Aku masih tidak mengerti dengan semua yang terjadi.

"Kamu sudah berhasil mencuci otak Ilham, sehingga dia berani membangkang terhadap kedua orang tuanya."

"Dan ... gara-gara kamu juga suami saya meninggal. Penyakit jantungnya kambuh saat Ilham bilang ingin membatalkan perjodohannya karenamu."

Deg!

Pernyataan terakhir itu membuatku lagi-lagi kaget setengah mati. Aku melihat Kak Ilham semakin dalam menundukkan kepalanya. Permainan macam apa ini? Kenapa namaku juga terseret ke dalam masalah keluarganya?

Apa tadi? Kak Ilham membatalkan perjodohannya karena aku? Allah, apa itu semua ada hubungannya dengan perubahan sikapku padanya belakangan ini?

Entah bagaimana ceritanya, perdebatan itu berakhir setelah Bu Katrina, Bu RT itu membawa Bu Rina ke kamar. Aku berakhir duduk di bawah pohon mangga samping rumah Kak Ilham bersama ibu yang sudah mengeluarkan air mata.

Jujur, sejak dulu hal yang paling aku benci adalah melihat air mata ibuku sendiri. Terlebih aku yakin jika alasannya menangis kali itu karena aku. Aku tak berani membuka bicara, hanya diam seribu bahasa sampai malaikat tak bersayap itu mengeluarkan sebuah kata yang membuatku semakin merasa sakit jiwa dan raga.

"Ibu kecewa sama kamu."

Kecewa? Itu artinya ibu percaya dengan apa yang Bu Rina katakan. Sosok yang aku kira akan memelukku pertama kali dan berbisik bahwa semua akan baik-baik saja, ternyata juga tidak percaya padaku.

Meskipun aku mencintai Kak Ilham, tak pernah sekali pun aku memintanya untuk membatalkan perjodohan yang telah Pak Ihsan tetapkan. Semua itu tidak benar, tapi bagaimana cara aku meyakinkan semua orang bahwa aku tidak bersalah setelah semua yang terjadi?

Apakah masih ada yang percaya padaku?

"Ibu malu, Lay, Ibu malu." Itulah kalimat terakhir yang aku dengar sebelum ibu berlalu dari sampingku.

Aku semakin menangis tersedu, kepalaku juga semakin terasa berat. Aku mencoba berdiri, berniat kembali menghampiri Irsya apa pun yang terjadi. Namun, ternyata kegelapan yang lebih dulu menghampiri.

Dear MuazinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang