Bab 6 - Berubah

32 18 3
                                    

"Tak perlu memaksakan sesuatu yang memang sejak awal tidak bisa dipertahankan."
🍂🍂🍂

Sejak percakapanku dengan Kak Ilham pagi itu, aku tidak lagi ngobrol dengannya. Aku merasa dia seperti menghindariku. Entah, benarkah itu? Dia terlihat banyak diam, murung, dan kadang ngelamun. Saat aku bertanya kepada Irsya, dia selalu mengalihkan topik pembicaraan. Sebenarnya ini ada apa? Aku berusaha untuk tidak ambil pusing dengan perubahan dia, jadi aku hanya diam saja. Biarkan waktu yang akan menjawabnya.

"Mbak?" Icha yang duduk di sebelahku, menepuk pelan pundakku.

"Iya?"

"Mbak Lay mikirin apa?"

Aku hanya tersenyum tipis sembari menggeleng, meskipun Icha paling cerewet nomor dua setelah Irsya, aku akui, dia memang mudah peka dengan keadaan seseorang. Jadi, mungkin diamku membuat dia berpikiran bahwa aku sedang tidak baik-baik saja.

"Nggak, Cha, nggak mikirin apa-apa kok. Irsya ke mana?" Wajar aku bertanya, sebab sejak masuk ke ruang latihan, aku tak menemukan Irsya sama sekali.

"Itu, lagi ngobrol sama kakaknya." Icha menunjuk kepada dua orang yang tengah duduk bersebelahan di teras masjid. Sepertinya mereka sedang berbicara serius. Kenapa sih, sejak kemarin mereka misterius?
Ngomong apa sih mereka, nggak dengar dari tempatku duduk.

"Sejak kapan mereka di sana?" tanyaku.

"Kayaknya dari tadi sih, Mbak, pas kita baru masuk ke sini."

Aku hanya mengangguk berkali-kali untuk merespon jawaban Icha, lalu Fatkhur mendekat ke arah kami sembari berkata, "Mbak Lay, kita latihan sekarang, ya!" ajaknya, dia seumuran dengan Irsya. Jadi dia memanggilku dengan sebutan 'Mbak'. Menurutku jarang sekali ada adik kelas laki-laki yang mau memanggil 'Mbak' kepada kakak kelasnya. Kadang ada yang memanggil nama, kan kesannya seperti tidak sopan. Bukannya ingin selalu dihargai, tapi bukankah kita memakai pedoman kata 'hormati yang lebih tua, sayangi yang lebih muda'. Benar, 'kan?
"Iya." Kami segera mengambil posisi sebagaimana kami biasa latihan.

Namun, sampai lagu yang kami nyanyikan hampir selesai, baru lah adik kakak itu masuk ke dalam. Kak Ilham sama sekali tidak melihatku, bahkan melirik pun tidak. Dia hanya berbincang sebentar dengan Fatkhur, kemudian bersiap azan Isya. Katanya, kakak pelatih itu mau ada acara habis Isya nanti.
Setiap kali mendengarkan suara azan Kak Ilham, rasanya aku ingin menangis. Lebay? Memang, tapi mau gimana lagi. Suaranya sangat merdu, aku tidak pernah bosan menyebutnya. Suaranya sangat merdu.

🍂🍂🍂

"Sya, kamu nggak ikut Kak Ilham?" Indah bertanya saat kami berlima bersiap untuk pulang.

"Nggak," jawab Irsya tak berminat.

"Kenapa?" Giliran Icha yang menyuarakan rasa ingin tahunya.

"Kepo!"

"Kayak kamu nggak aja!"

"Tau ah, males."

Aku hanya geleng-geleng melihat mereka. Langkahku mengikuti mereka sampai tempat parkir.

"Mbak Lay, kita bertiga pulang dulu ya." Via, Icha, dan Indah sudah bersiap menaiki motornya.
"Iya, hati-hati."

"Bay, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Setelahnya, tinggal aku dan Irsya. Sejak tadi Irsya juga tidak begitu banyak bicara. Karena tidak betah berada dalam situasi seperti ini, aku pamit pulang duluan. Namun, belum sampai berjalan, Irsya mencegah langkahku.

"Kenapa, Sya?"

Dia hanya menggeleng dengan mata yang tampak berkaca-kaca.

"Sebenarnya ada apa? Masih nggak mau cerita juga?" desakku, aku harap dia mau menceritakan yang sebenarnya. Namun, nyatanya masih tetap sama, Irsya tetap bertahan dalam diamnya.

"Nanti Mbak akan tahu pada waktunya."

"Sampai kapan?"

🍂🍂🍂

Sampai di rumah pun, aku tetap kepikiran. Lagian kenapa juga sih, Lay, urusannya orang dipikirin. Lebih baik aku membaca buku saja.

Aku mengambil buku tebal bersampul oren yang berjejer rapi di antara buku-bukuku yang lain. Itu adalah bukunya ibu. Aku sengaja meminjamnya karena tertarik setelah melihat sampulnya. Sudah lama sih, tapi belum sempat kebaca.

Tanbihul Ghafilin, nasehat bagi yang lalai. Karya Al-Faqih Abul Laits As-Samarqandi. Itulah judul buku beserta penulisnya.

Aku membuka bagian delapan belas yang judulnya 'Keutamaan Alquran'. Alquran pemberian Kak Ilham kemarin sudah aku buka, dan tentunya sudah aku baca juga. Aku merasa terharu sekaligus malu saat membaca salah satu sabda Nabi yang berbunyi:
"Sesungguhnya Alquran itu nanti pada hari kiamat akan mendatangi ahlinya (di saat) ia sangat membutuhkannya. Kemudian Alquran itu menghadap kepada orang yang membacanya dengan bentuk yang sangat tampan seraya bertanya, 'kenalkah kamu kepadaku?' Orang itu balik bertanya, 'Siapakah kamu?' Alquran menjawab, 'Aku adalah sesuatu yang kamu cintai dan kamu muliakan. Kamu berjaga pada waktu malam demi aku dan membacaku di siang hari.' Orang itu berkata, 'Barangkali kamu adalah Alquran.' Kemudian Alquran itu membimbingnya ke hadirat Allah, lalu ia diberi kerajaan di tangan kanan, kekekalan di tangan kiri, dipasang mahkota di kepala kedua orang tuanya yang muslim, diberi pakaian yang tidak dapat ditukar dengan dunia walau berlipat ganda. Kedua orang tuanya lantas bertanya, 'Bagaimana kami mendapat pakaian ini, sebab amal kami tidak sampai (untuk mendapatkannya)?' Dikatakan kepada kedua orang tuanya, 'Berkat bacaan Alquran kedua anakmu, maka Aku memberikan pakaian itu kepada kamu berdua.'"
Maa sya Allah.

Akhir-akhir ini aku jarang sekali membuka Alquran, padahal sudah dijelaskan begitu banyak keutamaannya jika kita mau membacanya meskipun satu ayat. Itu semua karena aku sok sibuk dengan kegiatan banjariku. Padahal masih banyak waktuku yang terbuang sia-sia.

Ya Allah, betapa berdosanya hamba ini. Namun aku berjanji, setelah ini aku akan berusaha istiqamah untuk selalu membaca Alquran.

Terima kasih, Kak Ilham, aku akan menjaga Alquran pemberianmu sepanjang masa hidupku.
Ngomong-ngomong soal Kak Ilham, dia sudah mengkhatamkan tiga puluh juz Alquran. Dia adalah seorang hafiz, begitu pula Irsya. Namun, Irsya belum khatam. Ia masih juz sembilan belas berjalan.
Maa sya Allah.

Pak Ihsan memang berhasil mendidik putra putrinya.
Aku jadi sadar sekarang. Kak Ilham sangat jauh di atasku. Ilmu agamanya matang. Sedangkan aku? Pas-pasan saja, karena aku tidak sekolah di pesantren seperti dia. Namun, bukan berarti tidak tinggal di pesantren tidak bisa menjadi hafiz atau hafizah seperti mereka. Semua tergantung pada niat masing-masing.

Kira-kira, begitulah jawaban yang pernah Kak Ilham berikan saat Fatkhur bertanya apakah dia pantas menjadi seorang hafiz Alquran sedang ia tak pernah merasakan pendidikan di pesantren. Intinya hanya satu, semua tergantung pada niat.

Dear MuazinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang