"Yazid bin Abu Habib meriwayatkan dari Nabi, beliau bersabda: Barangsiapa mempelajari Alquran, maka Allah Yang Maha Pemberkah lagi Maha Luhur akan meringankan siksaan kedua orang tuanya meskipun keduanya itu kafir."
🍂🍂🍂
Malam di keesokan harinya, aku sudah bersiap berangkat ke masjid untuk latihan. Tunik beserta jilbab abu-abu yang dipadu dengan rok hitam menjadi kostum pilihanku di hari itu.
Kedatanganku disambut ramah oleh teman-temanku, semua sudah berkumpul. Tinggal aku dan pelatih barunya, alias Mas Arka. See! Kak Ilham nggak ada. Alhamdulillah.
"Mbak Lay, tumben nggak pakai gamis?" Irsya mengajukan pertanyaan setelah aku duduk tepat di sebelahnya. Penyakit kepo yang banyak diderita kaum hawa ini nampaknya juga turut menyerangnya.
"Nggak papa, pengen aja sih pakai ini," jawabku sesuai fakta. Memang, saat latihan aku lebih sering memakai gamis daripada baju potongan seperti itu.
Obrolan kami terhenti saat seseorang mengucapkan salam dengan suara lembutnya. Tanpa menoleh ke sumber suara pun aku tahu siapa yang baru datang. Kok tiba-tiba aku jadi berdebar begini ya?
"Selamat malam, teman-teman," sapa Mas Arka, tetapi aku masih tetap menunduk menatap benda tipis nan canggih yang kerap disebut handphone itu.
"Malam, Mas."
"Sudah siap latihan bareng saya?"
"Sudah dong!" jawab teman-temanku serempak, terlebih teman-teman perempuanku. Mereka begitu antusias dengan kedatangan Mas Arka. Namun, kenapa aku tidak bisa sesenang mereka? Padahal nantinya aku yang paling sering berinteraksi dengan pelatihnya.
"Mbak Layla?" Panggilan Mas Arka yang entah di detik ke berapa membuatku mendongak meski terpaksa.
What?
Aku benar-benar kaget. Baju koko yang dipakai Mas Arka warnanya sama persis dengan tunik yang aku pakai. Dia juga pakai sarung hitam lagi. Ah! Jangan geer deh Lay. Ini cuma kebetulan.
"I-iya?"
"Mbak Layla mau lagu apa?" tanyanya, tetapi pandangan pelatih baru itu tidak sepenuhnya tertuju padaku. Aku tahu, dia sangat menjaga pandangannya.
"Mmm ... apa aja, Mas, biasanya ditentuin sama pelatihnya."
Dia manggut-manggut. "Saya minta Law Kana Bainanal Habib, boleh?"
Boleh pakai banget, itu lagu kesukaanku.
Aku mengangguk, lalu segera bersiap menempati posisi seperti biasanya, begitu pula Irsya, Indah, Icha, dan Via.
Mas Arka memandu di depan. Dia menghadap ke arah kami. Entah kebetulan atau apa, posisinya lurus dengan tempatku duduk. Please, Lay, jangan gampang membawa perasaan apa pun yang orang-orang lakukan.
🍂🍂🍂
Law kaana bainanal habib
Ladanal qasi wal qarib
Min thoyyibatin qablal maghib
Thooliban qurbal habib
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Muazin
Roman d'amourMendengarkan suaramu adalah hobiku. Menjadi milikmu adalah impianku, tetapi apalah dayaku yang berada jauh di bawahmu. Aku sadar, aku terlalu Astaghfirullah untuk kamu yang Maa Syaa Allah. Hatiku berlabuh kepadamu, tetapi kamu menolak untuk menjadi...