Lvnz Chapter (18)

177 36 179
                                    


****

"Enjoy, this story me."

vote sebelum membaca.
typo bertebaran, ingatkan.

Rizky Febian - Mantra Cinta 🎶

****

"Aaa!! Venza lipcream gue. Gimana dong, ahh pak Santo astaga, Venza Lo harus bantu gue!" pekik Chika panik.

Venza masih terdiam sambil memandangi wajah merah padam Chika karena panik akan lipcreamnya yang disita oleh pak Santo. Salahnya bukan, bisa-bisanya ia dengan mudah mengeluarkan barang itu lalu memperlihatkannya dengan pak Santo.

Lalu Venza melangkahkan kakinya untuk pergi meninggalkan Chika sendirian. Chika yang tersadar akhirnya berlari mengejar Venza yang sudah lumayan jauh dari pandanganya, disepanjang lorong koridor Chika tidak berhenti-hentinya meneriaki nama Venza.

Venza berjalan secepat mungkin untuk menghindari teriakan dari Chika. Saat ia hendak belok ke kanan, gak sengaja bertabrakan dengan bidang dada seseorang.

Venza mengaduh kesakitan karena keningnya terbentur dengan bidang dada kokoh itu. Ia mengusap-usapkan kening, lalu ada tangan yang menjulur ke arahnya. Dan saat melihat si pemilik tangan kekar itu, ternyata sosok lelaki yang semalam mengirimkan pesan.

Siapa lagi, kalau bukan si kutub Utara yaitu, Devan. Venza menerima ukuran tangan dari Devan, setelahnya ia menghempaskan begitu saja.

"Bisa gak. Lo kalo jalan itu sekali aja gak nabrak?" kesal Venza.

"Susah ya ngomong sama es batu. Diajak ngomong aja diem terus! Gue panasin pake kompor juga lo biar cair!" ketusnya pada Devan yang masih dengan santainya terdiam tenang.

"Lo tuh ya! Gue da--" ucapan Venza terpotong karena tiba-tiba saja, tangan kekar milik Devan membungkam mulutnya.

Venza memberontkan meminta untuk dilepaskan, namun sang empu tidak tergubris sama sekali.

"Jangan marah terus. Semakin lo marah, semakin wajah lo keliatan cantik."

Deg!

Jantung Venza berpacu dua kali lebih cepat. Lelaki didepannya ini sudah membuat pipinya begitu panas seperti kebakar. Ah, tidak-tidak. Ia tidak boleh segampang itu luluh dengan gombalan receh dari Devan. Sebisa mungkin Venza menetralkan detak jantungnya, tak lama Devan melepaskan bekapan dari mulut mungilnya. Dengan cepat Venza mengambil napas, karena merasa sangat pengap saat dibekap tadi.

"Kenapa diem?" tanya Devan melihat Venza yang tak berkutik sama sekali.

"E-em, g-gue?" jawabnya gugup.

"Iya, lo. Kenapa diem? Terpesona sama ketampanan gue, hm?" jawab Devan dengan kepedeannya.

"Alig! Siapa yang terpesona sama lo. Gak ada ya. Jadi gak usah geer!" jawab Venza dengan cepat.

"Tadi gue liat pipi lo merah kaya tomat gitu, kenapa, Sakit?"

Venza sontak langsung menangkup kedua pipinya. "Ha? Mana? Gue sehat ko, yakali sakit."

"Bagus, deh," jawabnya lalu meninggalkan Venza.

Devan melangkahkan kakinya dengan wajah yang terlihat seperti sedang jatuh cinta. Ia teringat bagaimana saat wajah merah padam Venza tadi. Menurutnya sangat lucu, dan menggemaskan.

"Lah-lah? Dia malah ninggalin gue!" gumamnya saat melihat Devan sudah jauh dari pandanganya.

Saat Venza hendak melangkahkan kakinya kembali. Tiba-tiba saja ada yang meneriaki namanya dari ujung koridor.

Lavenza [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang