Lvnz Chapter (22)

146 32 60
                                    


****

"Melepas-mu, bukan berarti aku sudah tidak ingin lagi memilikimu."

vote sebelum membaca, komen di setiap paragraf. typo ingatkan.

Obsession Mv - Exo 🎶

****

Venza benar-benar terisak kencang di dalam dekapan Edral. Ia sudah tidak bisa menahan air matanya lagi. Tak kala berbagai ucapan, dan segala keikhlasan Edral bahwa dirinya sudah dijodohkan.

Edral menahan kuat-kuat supaya dirinya tidak ikut menangis. Matanya sudah memerah, tanganya begitu kuat menggenggam erat pinggang ramping Venza. Suasana menjadi pedih, dan menyakitkan untuk keduanya. Lalu ditambah lagi dengan pernyataan Edral, bahwa ia akan pergi keluar negeri untuk menetap di sana. Ia bilang, Edral akan ikut tinggal kembali dengan papih, dan mamihnya. Venza semakin merasa bersalah atas pengakuannya malam ini. Apa ini semua jalan terbaik untuk keduanya? Atau lebih membuat keduanya saling tersakiti? Edral dan Venza sama sekali tidak mengerti dengan jalan takdir yang sudah di rencanakan oleh sang pencipta.

Venza maupun Edral. Sama-sama tidak bisa membantah ataupun mengubah keputusan yang sudah terjadi. Mungkin saja bisa, namun tidak akan berhasil dengan mudah. Pasti di sana akan ada lagi rintangan yang lebih pedih. Edral lebih memilih untuk melepaskan Venza untuk seorang lelaki yang sudah menjadi pilihan keluarganya.

Malam yang dingin, dan bulan, bintang menjadi saksi bisu antara keduanya yang saling menyayangi, dan mencintai namun pada akhirnya saling melepas untuk hal yang tidak pernah ia duga.

Edral mengajak Venza untuk ketempat yang lebih sepi dan membuat keduanya lebih nyaman. Ia memilih berada di taman dekat cafe yang ia datangi tadi.

Venza masih saja menangis, dan menyalahi dirinya atas apa yang sudah terjadi. Ia menyembunyikan wajahnya di dada bidang milik kekasihnya. Edral mengusap puncak kepala perempuanya itu, dan menciumnya lembut.

"Udah, hei. Jangan nangis terus dong, aku pindah bukan salah kamu. Aku emang udha rencanain ini dari awal, sayang. Jadi berhenti menangis ya, nanti cantiknya ilang, terus calon kamu jadi ilfil gimana hayo?" jelas Edral, dan meledek Venza agar perempuan itu tersenyum dan bisa menghilangkan sejenak rasa sedihnya.

"Ish, kamu ko gitu sih. Aku tuh lagi sedih, kamu mau pergi. Dan, aku gabisa pisah dari kamu gitu aja, Ral. Aku gamau kita pisah secepat ini!" bantah Venza memukul dada Edral.

"Hei, hei. Aku akan pindah beberapa bulan lagi. Kamu masih bisa abisin waktu sama aku. Jadi gaperlu khawatir. Selama apapun kita tetap bersama, akan secepat itu pula kita akan dekat dengan perpisahan."

"Jadi, satu hal yang harus kamu tau dan kamu ingat. Aku Edral, lelaki biasa yang mencintai perempuan secantik, dan sebaik kamu. Aku beruntung bisa miliki kamu meski hanya dengan waktu yang terbilang singkat. Venza jangan lagi nangis, aku gasuka liatnya. Kita akan abisin waktu bersama, dan kita buat kenangan indah di akhir hubungan kita ini."

"Gimana aku gak berhenti nangis coba. Kamu dari tadi omonginya pisah mulu, terus kata-katanya itu loh manis-manis tapi menyakitkan," balas Venza sambil memajukan bibirnya.

"Loh-loh, aku salah kata apa gimana ini? Bibirnya jangan di majuin sayang, kamu mau aku pukul pake sepatu aku, hm?" ucap Edral menunjuk bibir Venza dan mengangkat kakinya untuk melepas sepatu.

"Ish! Aku itu kesel loh sama kmu. Kasar banget lagi, mau pukul pake sepatu buluk kaya gitu!" ketus Venza.

"Astaga, sepatu aku limited edition loh ini. Bisa-bisanya di bilang sepatu buluk! Pacar durjana ya kamu. Sini aku jewer ginjalnya."

Lavenza [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang