BE - 10. Perlu Jarak

7.7K 719 14
                                    

"Tolol tolol tolol."

Guntur hanya bisa diam mendengar segala macam umpatan yang keluar dari mulut sahabatnya.

"Gak pernah gue nemu orang sebego elo," maki Agra ke sekian kalinya.

"Berisik, kayak lo paling bener aja," timpal Guntur, lalu meneguk minuman bir hingga kaleng kosong.

"Lagian ya bisa-bisanya lo gak nemuin dia sama sekali? Woi lo parah banget, Guntur!"

Guntur mendelik tidak suka. Ia tahu dirinya bersalah, namun Agra tak harus semenyebalkan itu. "Kan gue di luar kota, mana bisa ketemu."

Mendengar itu, Agra semakin dongkol. Ia sampai mengelus dada demi mempertahankan kesabaran yang sedikit tersisa. Mau dilihat dari manapun, Guntur terlihat seperti mencari-cari alasan agar tidak disalahkan.

"Lo hidup di jaman purba? Gak punya ponsel lo? Hubungin dia lah, telepon atau kirim pesan apa kek. Gini nih kalo gak punya pengalaman sama cewek, begonya sampai ke jonggol," ucap Agra menggebu.

"Daripada banyak pengalaman tapi tetep bego kayak lo?" balas Guntur sarkas.

Agra mengembuskan napas, menatap jengkel. "Gak usah ngebahas gue, sekarang pikirin masalah lo aja."

Wajah Guntur suram. Sudah tiga hari ini, ia dan Cilla tidak saling komunikasi. Cilla tidak ada mengabarinya sama sekali dan Guntur bisa menebak sendiri alasan dibalik hal ini. Namun, bodohnya Guntur, ia juga tidak punya keberanian untuk menghubungi Cilla duluan. Ia terlalu pengecut menjadi pria. Padahal, dirinya sudah sangat tersiksa merindukan wajah gadis itu.

Guntur meremas kaleng bir kosong sekuat tenaga, lalu melemparkannya ke arah bak sampah di sudut ruangan. Sebenarnya ia sangat ingin menelepon atau sekedar berkirim pesan dengan Cilla, tetapi ia juga merasa bingung harus bagaimana. Sambil menyugar rambut, ia menatap Agra dengan wajah nelangsa.

"Gue harus apa?"

"Temuin Cilla."

Guntur terdiam beberapa saat sebelum mengangguk patuh. Tidak ada cara lain selain menemui gadis itu secara langsung. Lagipula Guntur ingin sekali memeluknya. Dan yang paling penting, Guntur ingin melihat senyum Cilla.

Masalah perasaan biarlah dikesampingkan. Menurut Guntur, hal itu tidak terlalu mempengaruhi hubungannya dan Cilla. Mau cinta atau tidak, mereka akan tetap terus dekat.

"Semangat bro." Agra menepuk pundak Guntur. Walau ia merutuki sikap sahabatnya, ia juga tak tega melihatnya galau terus-terusan.

"Gue tau lo juga sayang sama Cilla, makanya harus diperjuangin."

Menoleh kepada Agra, Guntur segera menggeleng. "Gak, gue rasa perasaan gue ke dia gak sampe sejauh itu, Gra. I think we're just friends, gue nyaman sama dia."

Senyum remeh Agra terbit. "Oh ya? Itu 'kan lo, sedangkan Cilla mau lebih. Bisa aja 'kan dia sekarang ngejauh karena gak mau sakit hati."

Guntur terdiam dengan kepalan tangan yang mulai terbentuk. Menyadari itu, Agra pun mencoba sedikit bermain. "Ya bagus juga sih kalau begitu. Cilla itu cantik, lucu, dan seksi, bisa kali gue deketin siapa tau cocok, 'kan?"

Guntur langsung berdiri, ditariknya kerah baju sahabatnya dengan kencang. "Apa lo bilang? Jangan pernah lo deketin Cilla!" ucapnya penuh penekanan di setiap kata.

Tawa geli Agra keluar, tangannya terangkat tanda menyerah. Melihat respon Guntur, Agra semakin yakin dengan tebakannya. "Baru denger gue ngomong gitu aja langsung marah. Apalagi kalo beneran kejadian?"

Guntur pun melepaskan kerah baju Agra, ia kembali duduk dengan tenang.

"Gini deh, Gun, sebelum ada pria lain yang deketin Cilla, mending lo gercep aja."

Metamorfosa Si Buruk Rupa / Beautiful Ending (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang