25. Sesuatu yang tak terduga

1 0 0
                                    

Perjalanan pulang sore itu ku habiskan dengan melamun. Aku benar-benar familiar dengan ibu yang aku bantu tadi. Tapi, siapa?

"Udah pulang, Tes?" Tiba-tiba Alan sudah berada di depanku dan aku nggak sadar.

Aku tersenyum kikuk di hadapannya dan menjawab, "Iya, lu darimana?"

"Biasa," jawabnya pendek sambil mengangkat kresek yang berisi botol minuman.

"Mau gabung?" tanyanya. Kita berjalan beriringan menuju basecamp.

Aku menolaknya secara halus. Aku lagi gak pengen minum-minum soalnya. Dia mendesah kecewa tapi sedetik kemudian tertawa canggung.

Di depan basecamp teman-teman yang lain sedang duduk dan bersenda-gurau.

"Wahh ... ini dia bintang kita! Gimana lancar hari ini?" Sambut Nadya hangat.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis, Nadya mengikutiku masuk ke dalam sambil menggandengku.

"Kenapa? Lesu amat?" tanyanya penuh perhatian.

Aku menghambur ke kasur lapuk tempat aku tidur biasanya. "Entah," jawabku mengambang.

"Mungkin lu kecapek'an, ya udah istirahat aja. Gue tinggal ke depan kalo gitu."

Dia tersenyum manis mengusap rambutku lalu pergi.

*

Aku bangun, mengerjap-ngerjapkan mataku berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk menusuk mataku.

Sepertinya sudah sangat malam, aku bangun dan berusaha mencari air minum karena haus.

Saat aku sampai depan, teman-temanku sudah jatuh tertidur semua. Mereka bersenang-senang sepertinya.

Aku melihat botol minum air mineral, segera ku ambil dan berlalu dari sana. Aku merogoh melihat HPku dan ternyata jam 02.30. Hampir pagi.

Setelah agak segar aku keluar basecamp untuk menghirup udara pagi hari menjelang subuh.

Saat keluar udara dingin langsung menusuk kulitku. Segera ku rapatkan cardiganku untuk menghalau rasa dinginnya.

"Wow, siapa ini yang bangun?" tanya seseorang dari kegelapan. Aku menoleh dan melihatnya yang berjalan mendekatiku.

"Berani banget lu dateng kesini?" tanyaku dengan intonasi rendah berusaha memendam amarah.

"Ah, aku hanya sekedar lewat tadi. Terus, temen-temen ngajak minum bareng." Jelasnya tanpa ku minta.

"Akhiri saja permusuhan ini, Tes."

Aku menoleh lagi coba mendengar apa yang di bicarakan.

"Aku bersungguh-sungguh," ucapnya lagi.

"Gue udah maafin lu kok. Tapi, anggep aja kita gak pernah kenal." Aku berlalu masuk dari hadapannya. Ada rasa sesak di dadaku.

Mungkin aku sudah memaafkannya, tapi aku belum bisa melupakan apa yang dia lakukan padaku. Akibat apa yang aku terima dari perbuatannya. Aku tak pernah bisa ikhlas untuk menerima kehidupanku yang menjadi lebih pahit karenanya. Aku masih begitu membencinya.

***

Pagi itu aku sudah bangun pagi-pagi sekali dan sudah nongkrong di warung depan gang sambil ngopi cantik.

Aku menyesap perlahan, membiarkan rasa hangat menembus kerongkonganku.

Kepalaku rasanya pening sekali padahal aku sama sekali tidak minum tadi malam. Entah kenapa.

"Wooo, lihat siapa yang pagi-pagi udah di sini." Alan tiba-tiba datang dan berseloroh.

"Lagi pengen cari suasana baru aja yang bebas lepas," jawabku ringan sambil tersenyum padanya.

Kemudian dia membeli beberapa nasi bungkus yang pasti untuk anak-anak yang lain di basecamp.

"Kerja hari ini?" Tanyanya lagi.

"Iya, habis ini." Aku meletakan cangkirku dan menatap jalan raya yang mulai ramai.

"Jangan sedih lagi, Tes. Lu pantes bahagia," ucapnya setelah jeda diam yang agak lama.

Aku menatapnya bingung. Tak mengerti arah ucapannya.

Dia tak menjelaskan, hanya tersenyum dan berlalu pergi.

Aku menatap hangat punggungnya yang perlahan mulai menjauh.

***

"Pecel, gorengan anget-angetnya. Monggo," ucap seorang ibuk-ibuk yang jualannya tak jauh dari studio tempatku bekerja.

Aku mengawasinya dan betapa kasihannya, tak ada yang membelinya dan malah orang-orang menabraknya dengan keras sehingga dia mencoba menjaga dagangannya agar tak jatuh.

Aku berinisiatif membelinya,dan betapa terkejutnya aku ternyata ibu-ibu kemarin.

"Kamu?" Sapanya saat aku sudah di depannya.

"Eh, iya buk. Ehm, Ibuk jualan ini?" Tanyaku mencoba sesopan mungkin.

"Iya, Neng. Mangga!"

"Satu, Buk. Pecelnya." Dia tersenyum lalu segera membuatkan pesananku.

"Ibuk udah nggak apa-apa? Kemarin kan habis jatuh," tanyaku penasaran dengan kondisinya.

"Ah nggak apa-apa, Neng. Luka kecil aja kok." Dia menjawab dan dengan cekatan membuatkan pesananku.

Aku memberinya uang 20ribuan dan langsung hendak berdiri.

"Eh, Neng! Kembaliannya," seru Ibu itu.

Aku menggeleng, " Simpan buat Ibuk saja." Lalu aku segera berlari masuk ke studio.

Dia tampak semringah dan berulang kali mengucapkan syukur. Aku bahagia, aku senang akhirnya bisa berbagi dengan orang lain walau hanya sedikit.

*****
Tbc

Story of lady punk (tesya) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang