14. Benci.

9 0 0
                                    

Ketika impian tak sejalan dengan kenyataan, yakinlah bahwa skenario Tuhan lebih indah dari rencana kita.

****

Roni.

Ya satu orang lagi yang datang menghampiri hidupku. Aku kenal dia saat aku keadaan mabuk. Bahkan aku tak tahu apa yang ku lakukan malam itu padanya.

Tapi dia semakin sering menghubungiku dan menghujaniku dengan perhatian yang sangat berlebih menurutku.

"Hey, Tes." Tiba-tiba dia sudah di depanku sore itu. Aku sedang berada di pusat kota bersama gitar kecilku.

Yap! Habis mengamen tepatnya.

"Kok Lu tahu gue di sini?" tanyaku penasaran.

"Feeling," katanya. Aku hanya mengangguk-angguk cuek dan terus berjalan.

"Kamu mau kemana habis ini?" tanya Roni lagi.

"Makan, laper nih," ujarku sambil mencari warung bakso tempat yang akan ku jadikan tempat makan.

"Aku temenin ya?" Aku hanya mengangguk dan kita berjalan beriringan.

***

Sebenernya aneh sih, Roni begitu sangat perhatian padaku. Aku hanya membalas apa yang dia berikan.

Bukan seperti aku php lho ya! Tapi aku hanya menghargai perasaannya dan juga sedikit bermain-main, sih.

Maksudku, cewek mana sih yang nggak mau di perhatiin se-spesial dia. Apalagi sekarang ada gejala aneh di diriku. Aku suka tak tahan jika berdekatan dengan pria. Birahi seksku suka tiba-tiba muncul sehingga aku sering sekali menggoda Roni.

Yah, setelah beberapa kali aku berhubungan intim dengan Arif, mungkin tubuhku mulai terbiasa mendapat sentuhan-sentuhan manja dari seorang pria dan aku mulai membutuhkannya.

Butuh waktu kosong mengisi itu semua sampai aku bertemu dengan Roni. Sayangnya, dia masih sering menolak saat aku mulai menggodanya.

Apa kau yakin dia masih perjaka? Sejujurnya aku ragu.

Aku mau dekat dengan Roni hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan seksku. Meski bukan sampai berhubungan badan tapi cukuplah untuk menahan nafsu birahiku yang menggebu ini.

"Kau tahu, aku dari awal bertemu denganmu slalu terkesima dengan kecantikan alami dari wajahmu, Tes." Dia mulai membelai pipiku. Aku menangkupnya dan tersipu malu.

"Gue nggak seindah seperti kata-kata lu, Ron."

"Aku sangat mencintaimu, Tes." Dia meraihku dalam pelukannya. Lalu aku hanya mampu diam. Sekejap tatapan mata kami bertemu sangat dekat dan dahi kamipun saling bersentuhan.

"Gue belum bisa jawab," kataku pelan.

"Aku tidak butuh jawabanmu, Tes. Dengan kamu slalu disisiku itu sudah cukup." Aku tertunduk berusaha menjauh tapi, dia sudah mencekal dahuku dan mulai mengusap bibirku lembut.

Aku tak mampu berkata-kata aku mulai hanyut, dan pasrah mengikuti apa yang dia mau. Karena aku memang menyukainya. Bagiku cinta adalah nomor sekian sekarang.

*****

Aku pernah sangat berharga.. Semua orang memujaku.. Sampai kau datang dalam hidupku. Segalanya berubah.

****

"Ya, nanti malem kita ketemu."

"Ok, see you." Klik aku menutup telponnya. Sekejab Nadya sudah datang membawakanku es teh diatangannya.

"Siapa, Tes?" tanya Nadya kepo.

"Orang baru, biasalah." Aku menerima es nya dan segera meminumnya. Tenggorokanku yang semula kering seperti di aliri air sungai yang sejuk.

"Terus kalo Roni tau?" Nadya masih membahasnya.

"Ya resiko, lagian kita nggak ada hubungan resmi, Nad." Aku mencoba menjelaskannya.

"Nanti malem si anak ini tadi ngajak nonton dangdut, beda aliran sih sama kita tapi gue mau coba aja."

"Ehmm, nggak deh gue nongkrong di alun-alun aja ama temen-temen yang lain."

"Oke," jawabku singkat. Kami terdiam. Menikmati es dan semilir angin panas dari kendaraan yang berlalu lalang di depan kami. Siang itu begitu terik.

"Tapi si Roni ini kayaknya tulus deh, Tes ama lu." Nadya mulai membuka obrolan lagi.

"Iyalah! Coba kalo udah pacaran pasti sama aja, nyakitin! Basi, Nad."

"Ya, lu harusnya tau toh nggak ada salahnya kan kalo kamu coba buka hati lagi." Dia masih coba memberiku saran baik.

"Never!" Aku berbicara dengan nada keras dan tegas.

"Gue nggak akan mengulangi kesalahan yang sama, Nad. Nggak akan dan nggak mau!"

"Oh okey." Dia mengangguk pelan.

"Kita jalan sekali lagi, habis itu langsung pulang," ujarku. Aku berdiri dan berjalan duluan. Nadya segera mengikutiku dari belakang.

****

Aku sudah bersiap malam itu dan Alfian gebetan baruku akan segera datang menjemputku.

Aku sudah sampai. Alfian

Setelah mendapat pesan itu aku segera keluar dan mendapati dia sudah disana

"Sekarang?" tanyaku ragu dan agak berbasa-basi.

"Iyalah, masak taon baru?" Dia menjawab dengan gelakan tawa. Aku memang begitu suka canggung jika pertama bertemu.

Aku segera naik ke montornya dan mulai melesat jauh.

"Jadi kamu tinggal di sana tadi?" tanya Alfian memulai percakapan.

"Iya, gue anak jalanan, jika itu digusur atau kita diusir otomatis kita nggak punya tempat tinggal lagi." Aku mulai rileks menjelaskan.

"Waow! Aku tak percaya aku bisa kenal dengan anak jalanan yang sesungguhnya di kota kecil seperti ini." Dia berujar kagum.

"Rata-rata kita dari luar kota sih, ada yang menetap di satu kota ada juga yang setiap hari jalan dari satu kota ke kota lain."

"Kalian pasti hebat luar biasa. Bebas tanpa ada yang mengatur," katanya.

"Itulah moto hidup kami, kebebasan yang utama."

Motor mulai melaju pelan membelah jalanan yg sepi karena malam mulai larut.

Sekitar 20 menit perjalanan akhirnya kita sampai di tempat acara. Di sini sudah sangat ramai dan penuh, musik juga sudah berdentum-dentum keras. Aku berjalan di belakang Alfian karena memang merasa asing di sini.

Dia mulai menyapa teman-teman yang dia kenal di sana, dia mengajakku ke tengah.

"Tesya, ayo joget bareng. Kamu doyan minum?" tanyanya setengah berteriak di telingaku. Aku hanya menjawab dengan anggukan kecil.

Kemudian segelas alkohol datang di berikan padaku, ku minum. Tidak terlalu buruk rasanya di sini.

Tiba-tiba ada yang menepuk punggungku, aku pun menoleh. "Tesya, kamu?"

Dan aku pun terdiam tak mampu berkutik.

*****

Segini dulu yaaa hayuk dong susahnya ngasih voten dan komen krisan pada sebuah cerita itu apa sihh aku ngarep banget lhooo

Story of lady punk (tesya) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang